Athirah
Menceritakan sebuah ketegaran yang dibangun untuk menjalani kehidupan sebagai seorang perempuan dan juga ibu.
Sutradara: Riri Riza
Produser: Mira Lesmana
Penulis Naskah: Salman Aristo, Riri Riza
Perusahaan Produksi: Miles Film
Tanggal Rilis: 29 September 2016
Pemain: Cut Mini, Christoffer Nelwan, Tika Bravani, Jajang C. Noer, Andreuw Parinussa, Arman Dewarti
Diadaptasi dari novel berjudul sama, Athirah, karya Alberthiene Endah
Ditonton di Kineforum, Dewas Kesenian Jakarta
Harga tiket: Rp20.000,-
Kehidupan Athirah goyah ketika suaminya mengawini perempuan lain. Dalam lingkup budaya yang memungkinkan ini terjadi dan tanpa ruang bagi perempuan untuk bisa menolak, Athirah bergulat melawan perasaannya demi mempertahankan keutuhan keluarganya. Sementara itu, anak laki laki tertuanya, Ucu, tidak tahu pada siapa ia harus berpihak. Ibunya adalah orang yang dicintainya, penuh kesabaran dan kebaikan hati, sementara Bapaknya tetap menjadi sosok yang ia kagumi
***
Baiklah, sebelum saya menjelaskan bagaimana pendapat saya mengenai Athirah, saya akan menceritakan terlebih dahulu awal mula saya bisa menonton film ini. Pada dasarnya, saya tidak memiliki bayangan apa-apa dalam hal menonton biografi ibunda Jusuf Kalla ini. Bermula dari satu ajakan singkat dari teman saya--Nurul--untuk jalan-jalan di malam minggu.
"Puj, ayo ke Bogor!"
Awalnya, saya bingung. Mau kemana kalau ke Bogor? Punya tempat tujuan pun tidak. Setelah menimbang-nimbang, akhirnya kami memutuskan untuk ke Jakarta. Bersama dengan adik kelas Nurul--Adit, kami pun mulai menaiki kereta tanpa arah yang jelas. Pilihan kami untuk menghibur diri ada dua, ke Kineforum atau Teater Salihara. Setelah memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang ada, akhirnya kami memilih ke Kineforum.
Apa itu Kineforum?
Kineforum merupakan bioskop alternatif yang terletak di kawasan Taman Ismail Marzuki. Selain sebagai ajang menonton, terkadang juga terdapat diskusi lebih lanjut di sana. Setahu saya, terkadang Kineforum menghadirkan orang-orang tertentu dalam diskusi yang diadakan.
KINEFORUM adalah bioskop pertama di Jakarta yang menawarkan ragam program film sekaligus diskusi tentang film. Film-film yang diputar adalah film-film yang bisa menjadi alternatif tontonan bagi publik. Mulai dari film klasik maupun kontemporer, film panjang maupun pendek, film luar maupun dalam negeri, dan juga film-film dari non arus utama. Ruang ini diadakan sebagai tanggapan terhadap ketiadaan bioskop non komersial di Jakarta dan kebutuhan pengadaan suatu ruang bagi pertukaran antar budaya melalui karya audio-visual.--deskripsi dari situs resmi Kineforum.
Dengan demikian, Kineforum merupakan bioskop yang tidak biasa. Jujur saja, ini adalah pertama kalinya saya menonton di Kineforum. Tentunya, saya tidak kecewa dengan pelayanan di sana. Oh, ya. Kalau ingin menonton, tidak perlu reservasi. Langsung saja datang ke Kineforum--letaknya di belakang XXI TIM. Untuk pembelian tiket bisa dilakukan satu jam sebelum film diputar. Pst, segera ya kalau mau dapat tiketnya. Karena hanya ada 35 tempat duduk yang tersedia.
Tentang Athirah
Pada dasarnya, saya belum membaca novel karya Mbak AE ini. Oke, saya tahu kalau beliau ini 'jagonya' membuat biografi. Sebagai contoh adalah Mimpi Sejuta Dolar yang mengisahkan cerita hidup Merry Riana. Memang ada sih keinginan untuk membacanya. Tapi, nanti.
Berhubung saya ini menonton filmnya saja, jadi mungkin bagian visualnya yang akan banyak saya ceritakan. Film dibuka dengan adegan perpindahan Athirah (Cut Mini) bersama suaminya ke Makasar. Suaminya, Puang Aji (Arman Dewarti), merupakan seorang saudagar. Ia melakukan jual beli ke berbagai pembeli di dalam maupun luar kota. Hidup keduanya terlihat baik-baik saja. Mereka telah memiliki tiga anak, salah satunya adalah Ucu (Christoffer Nelwan)--anak laki-laki tertua di keluarga tersebut.
Suatu ketika, Athirah merasa kalau ada yang berubah dari suaminya. Terbukti dari jarangnya lelaki itu di rumah serta perubahan-perubahan minor yang disadari oleh Athirah. Beberapa rumor mengembus dan terdengar telinga Athirah, Puang Aji akan menikah lagi. Dalam kebudayaan Bugis, hal ini bukanlah hal yang tidak biasa, Seseorang memiliki lebih dari satu istri tidak menjadi masalah. Akan tetapi, sebagai seorang perempuan, tentu saja Athirah merasa tersakiti. Ia terkadang pilu saat menyadari suaminya jarang pulang ke rumah dan memilih untuk tinggal di rumah istri keduanya.
Untuk mengatasi kesedihannya, Athirah, dibantu oleh ibunya, Mak Kerah (Jajang C. Noer), akhirnya berusaha berbisnis kain tenun. Sedikit demi sedikit, Athirah mengumpulkan uang untuk berjaga-jaga. Satu-satunya yang mengetahui usaha Athirah ini adalah Ucu. Sebagai anak pertama, Ucu memang dekat dengan ibunya. Tidak heran bila Athirah mempercayai Ucu akan rahasianya.
Krisis tahun 1960-an membuat perekonomian Indonesia stagnan. Hal ini pun juga memengaruhi kehidupan Athirah dan keluarganya. Perusahaan yang mulai bangkrut, pedagang yang gulung tikar, hingga pengrajin yang berhenti bekerja. Lalu, sampai di situ sajakah perjuangan Athirah dalam menghadapi hidup?
Sumber gambar: Kapanlagi |
***
Menurut saya, cerita yang disajikan dalam thirah begitu sederhana. Cerita mengenai perjuangan seorang perempuan dalam menghadapi hidup dimadu. Unsur budaya dalam cerita ini begitu kuat. Terlihat dari penggunaan bahasa Makasar untuk keseluruhan film, lagu-lagu yang dinyanyikan, dan juga musik-musik yang diperdengarkan. Bagi saya, lagu dan musiknya bagus. Saya jadi penasaran dengan lagunya.
Secara visual, pengambilan gambarnya bagus. Saya tidak kecewa saat harus menontonnya dari bangku paling depan. Banyak detail yang dicoba untuk diperlihatkan oleh Riri Riza. Sayangnya, terkadang detail-detail tersebut membuat cerita dari film ini sendiri menjadi terpotong. Seolah-olah, adegan yang disajikan tidak berhubungan satu sama lain. Sayang sekali.
Untuk pendalaman karakter sendiri, saya cukup trenyuh saat melihat akting dari Cut Mini. Dia benar-benar bisa menjiwai Athirah. Jujur saja, saya suka dengan penampilan Cut Mini. Kemudian, akting dari Jajang C. Noer memang tidak perlu diragukan lagi. Dengan pengalaman di dunia film yang cukup luar biasa, membuat akting Jajang begitu memukau dan sangat menyenangkan untuk dilihat. Terakhir, ada akting Christoffer Nelwan yang membuat saya sakit perut karena tertawa.
Terlepas dari kekurangannya di sana-sini, menurut saya film ini masihlah layak untuk ditonton. Dan, pada akhirnya membuat saya penasaran dengan novelnya. Mungkin, lain kali saya akn membaca novelnya dan membandingkannya dengan filmnya.
4 bintang untuk karakter Ucu yang lucu.
Sincerely,
Puji P. Rahayu