Title: Vera Wong’s Unsolicited Advice for Murderers

Author: Jesse Q. Sutanto

Publication date: 14 March 2023

Publisher: Berkley

Genre: Mystery, Contemporary


Vera Wong is a lonely little old lady-ah, lady of a certain age-who lives above her forgotten tea shop in the middle of San Francisco's Chinatown. Despite living alone, Vera is not needy, oh no. She likes nothing more than sipping on a good cup of Wulong and doing some healthy detective work on the Internet about what her college-aged son is up to. 

Then one morning, Vera trudges downstairs to find a curious thing-a dead man in the middle of her tea shop. In his outstretched hand, a flash drive. Vera doesn't know what comes over her, but after calling the cops like any good citizen would, she sort of . . . swipes the flash drive from the body and tucks it safely into the pocket of her apron. Why? Because Vera is sure she would do a better job than the police possibly could, because nobody sniffs out a wrongdoing quite like a suspicious Chinese mother with time on her hands. 

Vera knows the killer will be back for the flash drive; all she has to do is watch the increasing number of customers at her shop and figure out which one among them is the killer.

What Vera does not expect is to form friendships with her customers and start to care for each and every one of them. As a protective mother hen, will she end up having to give one of her newfound chicks to the police?

Knives Out meets Kim's Convenience in this captivating mystery by Jesse Q. Sutanto, bestselling author of Dial A for Aunties.


***


Vera Wong’s Unsolicited Advice for Murderers has been on my wishlist forever! I’ve always been curious about Jesse Q. Sutanto’s books—not just because she’s technically an Indonesian author, but also because I’ve heard so many fun things about her Aunties series. While waiting for my turn on Libby to read Dial A for Aunties, I decided to dive into Vera Wong’s first, and let me tell you—I was not disappointed!

The Story

Vera Wong is an energetic and opinionated Asian grandma who proudly runs “Vera Wang’s World-Famous Tea House.” (Yes, she’s aware it sounds like the designer’s name, but that doesn’t stop her from claiming her teahouse is world-famous!) After her husband passed away and her son, Tilbert—or Tilly, as Vera calls him—moved out, Vera settled into a predictable routine: morning walks, breakfast, and waiting for customers in her nearly empty teahouse.

Unfortunately, Vera’s tea house isn’t quite living up to its “famous” reputation anymore. Her only regular is Alex, a kindhearted man who stops by for tea and a chat while caring for his bedridden wife. Despite Tilly’s attempts to convince her to let the business go, Vera stubbornly holds on. The teahouse is more than just a shop to her—it’s a cherished link to her late husband, Jin Long.

One ordinary morning, Vera’s life takes a dramatic turn when she discovers a dead man in her teahouse. Is this really happening? Drawing from her extensive “training” (a.k.a. watching countless episodes of NCIS), Vera calls the police and does her best to preserve the crime scene—though her enthusiasm ends up being more of a headache for the authorities.

The victim, Marshall, is a mystery to Vera and her neighbors. Even stranger, the police dismiss the death as non-suspicious. But Vera’s gut tells her otherwise. Fueled by her unshakable confidence and knack for meddling, she decides to investigate on her own.

Soon, she narrows her list down to four suspects: Riki, an ambitious Indonesian IT tech bro; Sana, a struggling artist; Marshall’s twin brother, Oliver; and Julia, Marshall’s wife. As Vera interviews them (and even stays at Julia’s house!), she uncovers secrets, motives, and surprising connections. But with everyone seeming guilty, can Vera untangle the truth and solve the case?


Maybe you do something slightly bad, so what? Now you learn from it. You have a better judgment now. Better morals, because you learn from your personal mistake. This what life is about, Riki. No one is perfect, making right decisions all the time. Only those who are so privileged can make right decision all the time. The rest of us, we have to struggle, keep afloat. Sometimes we do things we are not proud of. But now you know where your lines are. You are good boy, Riki. You have good heart. That is all that matters.


The Opinion

I couldn’t quite pinpoint another book with the same vibe as Vera Wong’s Unsolicited Advice for Murderers, but Vera’s enthusiasm and charm make her unforgettable. She’s the epitome of an Asian grandma—lovable but nosy enough to give you a headache! In some ways, she reminded me of Ah Ma from How to Make a Million Before Grandma Dies, though Vera is definitely nosier.

While the story focuses on Vera solving Marshall’s mysterious death, it’s also about personal growth. Each suspect she interrogates ends up rediscovering their passion, self-worth, and connections with others. Vera’s meddling, as frustrating as it is, helps them rebuild their lives—and in the process, they become like family to her.

One of my favorite moments was when everyone rushed to the hospital when Vera fell ill. It was heartwarming to see how much they’d grown to care for her, showing that family isn’t always about blood ties. Vera’s interference, while chaotic, left a positive impact on everyone’s lives.

I also loved the little tidbits about tea! Learning about the different blends Vera prepared added a unique touch to the story.

As for the mystery, while it wasn’t the main focus, the plot twist caught me off guard. 
 Jesse Q. Sutanto definitely kept me guessing!

Conclusion

Overall, I really enjoyed this book! Vera is such a vibrant, high-spirited grandma—always nagging, cooking up a storm, and meddling in everyone’s business in the most lovable way. I also appreciated how every character’s story wrapped up in a satisfying way.

Now I can’t help but wonder about the next installment. What kind of case will Vera dive into next? And will any of the characters from this book make a return? Fingers crossed, because I absolutely can’t wait to find out!



Judul: Rumah Lebah
Penulis: Ruwi Meita
Tebal buku: 284 halaman
Penerbit: Bhuana Sastra
Tanggal terbit: 30 September 2019
ISBN: 9786232164840
Baca di Ruang Buku Keminfo

Mala, gadis kecil berusia enam tahun yang terobsesi dengan ensiklopedia. Dia hanya membaca buku ensiklopedia dan selalu mengurutkan buku satu sampai buku terakhir dari sisi kiri ke sisi kanan. Dia juga tertarik dengan beruang.


Di rumah, Mala hanya tinggal bersama orangtuanya, tetapi dia selalu membicarakan enam orang asing yang hidup bersama di dalam rumahnya. Dia selalu takut pada Satira, bersahabat dekat dengan Wilis, berbicara dengan Tante Ana yang suka berdandan, belajar bahasa Spanyol dengan Abuela, dan si Kembar yang hanya bisa mendengar, melihat dan mencatat.


***


Siapakah sebenarnya enam orang asing yang selalu dibicarakan Mala? Rahasia apakah yang dimiliki oleh enam orang asing tersebut?


Rumah Lebah menjadi buku pertama yang kuselesaikan di tahun 2025. Sepertinya, aku sudah mengetahui soal keunikan buku ini dari lama. Hanya saja, baru kemarin aku mendapat kesempatan untuk membacanya di Ruang Buku Kominfo (RBK).


Mala adalah anak tunggal dari pasangan suami-istri, Winaya dan Nawai. Dulunya, Winaya adalah seorang wartawan investigasi di salah satu majalah yang terkenal seantero negeri. Sedangkan Nawai adalah ibu rumah tangga yang memiliki latar belakang di bidang pendidikan. Suatu kejadian membuat Winaya dan Nawai menyadari bahwa Mala bukanlah anak yang biasa-biasa saja. Banyak orang yang menyebutnya sebagai anak istimewa karena ia memiliki kemampuan yang tak dimiliki oleh anak seusianya.


Khawatir akan keistimewaan Mala, Winaya dan Nawai memutuskan untuk pindah ke desa yang berada di kaki gunung Wilis. Nawai memilih untuk mengajari Mala sendiri sesuai dengan pengetahuan dan kemampuan yang ia dapatkan semasa kuliah. Winaya pun telah berhenti dari pekerjaannya sebagai wartawan dan beralih profesi menjadi penulis novel misteri. Meski telah jauh dari hiruk-pikuk ibu kota, Mala masih tetap bisa berinteraksi dengan sejumlah orang yang dianggap hanya khayalan oleh Winaya dan Nawai. Mereka adalah Wilis, Abuela, Tante Ana, Satira, dan juga si kembar. Lalu, bagaimanakah kehidupan Mala dan orang tuanya selanjutnya? Siapakah Wilis, Abuela, dan lainnya itu?


"Aku suka gelap karena kehidupan ini dimulai dari kegelapan. Aku suka air karena air bisa menenggelamkan ke tempat yang terdalam di mana kegelapan akan cepat menjadi kawan baikmu."

— Satira.


***


Dari awal, aku sudah mengharapkan adanya plot twist dalam cerita di buku ini. Akupun sudah menyiapkan diri untuk mendapati unsur horor dalam kisah Mala. Awalnya aku menduga kalau Wilis, Abuela, Tante Ana, ataupun Satira adalah teman bayangan Mala--atau malah memang hantu. Tapi ternyata dugaanku salah total. Aku tidak menyangka kalau seluruh kondisi Nawai menjadi breadcrumbs untuk klimaks dalam cerita ini.


Harus kuakui kalau Ruwi Meita telah berhasil membungkus cerita ini dengan apik. Kita dibuat penasaran dengan identitas orang-orang yang bisa dilihat Mala itu. Lalu, kita juga dibuat bertanya-tanya, apakah orang-orang itu bersifat baik atau malah bisa mencelakakan Mala pada akhirnya.


Untuk Nawai sendiri, aku sebetulnya sudah menyadari bahwa kisah dalam buku ini tidak hanya tentang Mala. Nawai juga memiliki porsi penting karena berkali-kali penulis menggunakan perspektif Nawai dalam ceritanya. Jadi, ketika kondisi Nawai terbongkar di akhir, aku tidak terlalu suprised.


Meski demikian, aku merasa kalau masih banyak bagian yang rumpang dalam cerita ini. Aku masih penasaran bagaimana awal mula Rayhan bisa bertemu dengan Tante Ana--dan apakah pertemuan sekali saja itu betul-betul bisa membuat Reyhan terlena? Lalu, aku juga jadi kasihan dengan Winaya. Apakah dia betul-betul tak menyadari perubahan dalam diri Nawai--sekecil apapun perubahannya? (view spoiler)


Sebetulnya, aku suka sekali dengan cerita yang diangkat. Misterinya cukup kuat dan membuat kita penasaran dengan kelindan keluarga Mala dengan pasangan Reyhan-Alegra. Tapi, aku tetap merasa banyak sekali pertanyaan yang muncul setelah aku selesai membacanya. Rumah Lebah ini tidak ada lanjutannya, kan? Rasanya ada banyak hal yang masih belum tuntas dalam cerita ini.


Meski demikian, aku tetap akan merekomendasikan novel ini kalau kamu ingin menemukan novel misteri lokal yang punya plot twist enggak biasa. Sepanjang cerita, kamu akan dibuat bertanya-tanya karena saking banyaknya hal yang terjadi di sekitar Mala.


3.5 dari 5 bintang untuk kecerdasan Mala yang sungguh tidak terduga. 

Image: Canva, edited by me

Judul: Perkumpulan Anak Luar Nikah
Penulis: Grace Tioso
Tebal buku: 396 halaman
Tahun terbit: 1 Juni 2023
Penerbit: Nour Publishing
ISBN: 9786232423985
Baca fisik

Shocking Confession from an Indonesian’s Ex-ASEAN Scholarship Recipient

Judul artikel itu mengguncang media sosial dalam semalam.

Martha, sang tersangka, panik. Keteledoran masa lalunya kini mencuat ke permukaan. Sebagai lulusan Computer Science, bagaimana bisa dia meninggalkan jejak digital yang menghantuinya dengan iming-iming penjara pada masa sekarang?

Pernikahannya guncang, kebebasannya terenggut, anak-anaknya terancam kehilangan sosok ibu hanya karena Martha memainkan “25 Question About Me” di blognya belasan tahun lalu dan menjawab terlalu jujur pertanyaan: “What is the wildest thing you’ve ever done when you’re 17 years old?”

I forged a legal document. Later, I used it to apply for a scholarship, and I got accepted!

*** 


Perkumpulan Anak Luar Nikah menjadi salah satu wishlist-ku tahun ini. Melihat hype-nya di media sosial, membuatku penasaran, fiksi sejarah seperti apa yang dicoba diangkat oleh Grace. Awalnya, aku berniat membacanya via Rakata. Akan tetapi, karena aku mengalami kendala di aplikasi itu, aku memutuskan untuk membeli versi fisiknya saja. To be honest, aku tidak menyesal membeli versi fisiknya karena ceritanya memang sangat-sangat menarik dan berkesan.


The Story


Kisah bermula dari artikel berjudul "Shocking Confession from an Indonesian's Ex-ASEAN Scholarship Recipient" yang mengguncang media sosial dalam semalam. Mulai dari situ, hidup Martha yang awalnya tenang-tenang saja, langsung berubah seratus delapan puluh derajat. Melalui permainan "25 Question About Me" yang ia unggah di blognya belasan tahun lalu, dunia tahu kalau Martha pernah memalsukan dokumen legal dan menggunakannya untuk mendaftar beasiswa. Iya, beasiswa yang mengantarkan dirinya berkuliah di salah satu kampus terbaik di Singapura.


Memalsukan dokumen legal di negara yang penuh kedisplinan itu tentu saja akan membuat hidup Martha sepenuhnya tidak baik-baik saja. Ia harus berhadapan dengan aparat hukum dan kemungkinannya dia akan dipenjara. Lalu, bagaimana dengan nasib anak-anaknya, keluarganya, dan juga teman-temannya?


The Opinion


Sedari awal aku membaca blurb novel ini dan sejumlah ulasan singkat di Twitter, tersebut-sebut kalau PALN akan mengangkat sisi lain dari China-Indonesian. Berhubung aku tahu memang ada sejumlah dokumen dari teman-teman Tionghoa yang sengaja diberi tanda berbeda, aku sudah mengira arah dari pemalsuan dokumen itu ke sini. Akan tetapi, aku baru betul-betul tahu soal istilah anak luar nikah melalui novel ini. Jadi, ketika aku mengetahui mengapa sampai ada istilah anak luar nikah dan bagaimana awal mulanya, aku speechless. Iya, aku tahu kalau memang ada diskriminasi terhadap teman-teman Tionghoa di negeri ini, tapi ternyata banyak juga yang belum aku pahami.


Novel ini memang memiliki genre fiksi sejarah, tapi bukan berarti kisah Martha ini terjadi di masa lampau. Kisah ini terjadi di masa sekarang. Sayangnya, dampak diskriminasi dan represi yang dialami oleh keluarga Martha maupun suaminya, Ronny, masih terasa sampai sekarang. Oh, ya. Meskipun novel ini memang fokus pada kasus legal Martha, banyak kilas-balik yang diceritakan tak hanya berfokus pada masa lalu Martha. Ada kehidupan Ronny, kedua sahabat Martha, Fanny dan Linda, sepupu Martha, Yuni, hingga wartawan dari The Hongkong Post yang ingin mengangkat kisah Martha, Krisna.


Melalui novel ini, Grace Tioso mencoba untuk mengungkap bahwa diskriminasi dan represi yang dialami oleh teman-teman Tionghoa bahkan bisa dilihat kelindannya sejak tahun 65. Hal ini tidak mengherankan karena setelah aku membaca Metode Jakarta, aku memahami ada semacam pergeseran kebencian kolektif yang dicoba dilanggengkan. Sayangnya, kebencian tersebut malah mengarah ke teman-teman Tionghoa. Selain peristiwa 65, tentu saja kerusuhan tahun 1998 menjadi salah satu titik balik dari sejumlah tokoh dari novel ini, seperti Ronny yang enggan untuk kembali ke Indonesia.


Pun ketika Ronny dan juga Linda dan Fanny mempertanyakan keputusan Martha untuk mengelola salah satu akun anonim Twitter yang membahas politik, aku juga bisa memahami kenapa selalu ada ketakutan di sana. Seorang Chindo bersinggungan dengan politik? Itu akan jadi keputusan yang sangat-sangat sulit untuk dilakukan. Akan ada banyak pertimbangan di sana.


Conclusion


Rasanya, aku sudah lama sekali aku terakhir merasa tersentuh dengan bacaan yang aku baca. Nah, entah kenapa, di bagian-bagian akhir, aku bisa merasakan kesedihan dan keputusasaan Martha. Jadi, teman-teman, kalau sempat, bacalah novel ini dan kalian akan sedikit memahami bagaimana struggle teman-teman Tionghoa, yang mungkin belum pernah kita sadari sebelumnya. 


Berhubung kerja-kerjaku juga dekat dengan isu-isu ini to some extent, aku merasa beruntung bisa mendapatkan pemahaman lebih jauh. Tapi aku yakin, masih banyak yang belum aku ketahui. Jadi, aku akan berupaya untuk mencari tahu lebih banyak lagi.


5 dari 5 bintang untuk fiksi sejarah yang unik ini.

Judul: Black Showman dan Pembunuhan di Kota Tak Bernama
Penulis: Keigo Higashino
Penerjemah: Milka Ivana
Tahun terbit: 30 November 2020
Tebal buku: 516 halaman
Penerbut: Gramedia Pustaka Utama

Pembunuhan bisa terjadi di mana saja, termasuk di sebuah kota kecil, terpencil, dan nyaris terlupakan di tengah pandemi Covid-19.

Seorang mantan guru SMP ditemukan tewas tercekik di halaman rumahnya sendiri. Polisi tidak tahu apakah ini pembunuhan terencana, pembunuhan tak disengaja, atau aksi pencurian yang berakhir dengan pembunuhan. Korban adalah guru yang disegani. Setelah pensiun pun, mantan murid-muridnya sering menghubunginya untuk meminta bantuan atau nasihat. Jadi, tentu saja para mantan muridnya, yang pulang ke kota itu demi menghadiri reuni, termasuk dalam daftar orang-orang yang dicurigai.

Polisi kebingungan, dan si pembunuh lega karena identitasnya tidak akan pernah ketahuan.

Namun, ia tidak menyangka bahwa putri korban akan muncul bersama pamannya—seorang mantan pesulap eksentrik—dan ikut menyelidiki apa yang sebenarnya terjadi dan mencari tahu siapa yang membunuh Kamio Eiichi.

***

Sejujurnya, dari tahun lalu aku penasaran dengan buku-buku karangan Keigo Higashino sensei. Berhubung aku tahu kalau salah satu genre beliau adalah mistery, akhirnya aku memutuskan memilih dari sinopsisnya yang menarik hatiku. Akhirnya, pilihanku jatuh ke Black Showman ini. Alasannya sederhana, sih. Aku suka sampulnya! Haha. Terkadang, aku memang sesederhana itu dalam menentukan pilihan buku yang aku baca. 

 Mayo Kamio mendapatkan kabarnya apabila sang ayah, Eichii Kamio, meninggal dunia. Yang membuat dirinya semakin gusar adalah, kenyataan bahwa Eichii meninggal karena diduga dibunuh. Dengan perasaan berantakan, Mayo pun menempuh perjalanan menuju kota asalnya--yang omong-omong tak bernama--dari Tokyo. 

 Eichii merupakan sosok guru SMP yang begitu dihormati. Ia punya kharisma tersendiri sehingga membuat murid-muridnya terkadang masih menghubungi dirinya untuk mendapatkan nasehat, atau bahkan menjadikan Eichii sebagai mediator. Kebetulan, tak lama dari tanggal kejadian, angkatan Mayo sewaktu SMP akan mengadakan reuni. Tak heran apabila sejumlah kawan-kawan Mayo kembali ke kota itu dan membuat mereka tak terlepas dalam daftar terduga tersangka. 

Ketika Mayo hendak menyerahkan semuanya pada pihak kepolisian, datanglah Takeshi Kamio, Paman Mayo yang sempat tinggal lama di Amerika Serikat dan menekuni karier sebagai pesulap ternama. Sosok pamannya yang eksentrik itulah yang membuat Mayo terdorong untuk ikut mengungkap kebeneran dari kematian Eichii tanpa bantuan dari kepolisian. 

 *** 

Kalau aku boleh jujur, aku memang sudah lama tidak membaca kisah detektif, apalagi yang ditulis oleh penulis Asia. jadi, dari awal aku bertanya-tanya, sosok seperti apakah si "detektif" yang akan memainkan peran dalam cerita ini? Bagaimana cara Takeshi dan Mayo mencari petunjuk untuk mengungkap si penjahat yang sesungguhnya? 

Nah, kalau aku amati, dengan bacaanku yang terbatas, aku rasa Keigo Higashino sensei mencoba menggunakan metode Hercule Poirot di sini. Dalam artian, cara kerja Takeshi dan Poirot memang mirip. Penggunaan sel-sel kelabu sembari menggali informasi dari para saksi menjadi salah satu metode utama yang digunakan oleh Takeshi. Memang, sih, kisah dalam buku ini terasa lambat pace-nya. Akan tetapi, untungnya aku masih bisa menikmatinya. 

Menurutku, Higashino sensei berhasil memunculkan sejumlah twist yang tidak terduga. Baik mengenai alur utamanya, maupun kisah-kisah lainnya yang muncul, seperti kisah Momoka dan suaminya. Ahh, satu hal yang sama sekali terlupa dari memoriku adalah surel yang sempat diterima Mayo dalam perjalanan menuju kota tempat tinggalnya. Ternyata itu menjadi salah satu hal penting dalam hubungannya dengan Kenta. Astaga. Aku betul-betul terlupa soal itu. 

Oh, iya. Sepertinya. buku ini adalah buku berlatar pandemi COVID-19 pertama yang pernah kubaca. Tentu saja, keadaan di Jepang saat pandemi jauh berbeda dari di Indonesia. Jadi, menarik juga bisa tahu bagaimana negara lain menghadapi musibah pandemi yang tak terduga. 

Baiklah. Meskipun aku tahu banyak yang bilang kalau karya-karya Higashino sensei tidak semuanya mencengangkan, aku masih penasaran dengan buku-buku beliau yang lainnya. Jadi, mari kita berburu kapan-kapan.

3.5 dari 5 bintang untuk sosok Takeshi yang selalu misterius.

Sincerely,
P.P. Rahayu


Judul: Monster
Sutradara: Kore-eda Hirokazu
Penulis: Yuji Sakamoto
Genre: Drama, Thriller
Nonton di CGV Depok Mall


A suburban town with a large lake. A single mother who loves her son, a school teacher who cares about her students, and innocent children lead a peaceful life. One day, a fight breaks out at school. It looked like a common fight between children, but their claims differed, and it gradually developed into a big deal involving society and the media. Then one stormy morning, the children suddenly disappear.


***


Akhirnya, kesampaian juga buat nonton Monster. Sebenernya, udah tahu soal film ini dari tahun lalu. Tapi, karena satu dan lain hal, termasuk karena aku sempat sakit cacar, akhirnya baru bisa nonton sekarang. Itupun, kemarin juga impulsif banget nontonnya. Bermula dari perjalanan dari Cibubur ke Depok menggunakan Transjakarta D11--yang omong-omong udah kayak unicorn, saking enggak jelasnya jadwalnya, aku tetiba terpikir waktu sampai Depok, "Kayaknya seru nih, turun di Depok Mall dan nonton." Dengan gerak cepat, akhirnya aku buka TIX.ID, dan untungnya si Monster ini masih ada.


Waktu bilang sama Mbak Indri aku mau nonton, Mbak Indri udah wanti-wanti kalau pace film ini bakal lambat banget. Honestly, aku enggak terlalu cari tahu ini film tentang apa. Yaa biar jadi surprise gitu ceritanya. Jadi, waktu di awal-awal, memang agak bingung alurnya akan ke mana.


The Story


Bermula dari Minato Mugino (Sora Kurokawa) yang sepertinya mengalami masalah di sekolah. Saori Mugino (Sakura Ando), sang ibu, jadi sangat khawatir dengan keadaan Minato. Apalagi, Saori memang membesarkan Minato sendirian pasca mendiang suaminya meninggal dunia. Maka dari itu, ia pun memutuskan untuk memastikan sendiri apa yang sebetulnya terjadi di sekolah. Akan tetapi, ketika ia menghadap  dan ditemui kepala sekolah dan sejumlah guru, Saori menjadi semakin bingung dan kesal karena ia tahu ada yang sedang ditutup-tutupi oleh pihak sekolah. 


Setelah itu, sudut pandang cerita berganti ke sisi Michitoshi Hori (Eita Nagayama), wali kelas Minato. Nah, dari sinilah baru terungkap sisi lain dari kisah yang terungkap dari sudut pandang Saori sebelumnya. Sudut pandang Hori sensei inilah yang akhirnya membuatku terjaga setelah hampir mengantuk dengan sangat karena awal cerita yang cukup lambat.


Salah satu hal yang menarik dari film ini adalah adanya multi POV yang disajikan, yakni dari sudut padang Saori, Hiro ssensei, dan Minato sendiri. Ketiga POV ini pada akhirnya saling melengkapi dan memunculkan sejumlah twist yang tidak terduga. Ketika awalnya aku mengira ini adalah soal bully antar siswa saja, ternyata kisah yang diangkat lebih dari itu. Bahkan beyond dari itu. Jadi, aku sangat salut kepada penulis naskah dan sutradara film Monster ini, bisa mengemas cerita yang sedemikian engaging-nya.


Pada dasarnya, melalui multi POV ini, sang sutradara dan penulis naskah ingin menekankan bahwa sosok monster dalam kehidupan kita itu akan berbeda-beda. Bisa jadi bagi Saori, para monster yang mengganggu ketentaraman hidupnya adalah pihak sekolah adalah Hori sensei yang "mencelakai" anaknya. Lalu, bagi Hori sensei, para monster adalah kepala sekolah dan para dewan guru--dan juga Minato. Sedangkan, bagi Minato, siapa sosok monster dalam pandangannya juga pasti berbeda dari ibunya dan Hori sensei.


Maka dari itu, ketika kisah ini mencapai titik akhir, kesimpulannya juga dikembalikan kepada penonton. Apakah Minato dan Hoshikawa berhasil terlahir kembali?


Aku menyadari kalau film ini cukup emosional, tapi aku tak sampai menitikkan air mata karenanya. Aku malah merasa jauh lebih sedih ketika mendengarkan lantunan pinao dari Sakamoto sensei. Iya, film ini merupakan proyek terakhir beliau sebelum meninggal dunia. Aku bisa merasakan kesedihan dan juga emosi yang hendak ia sampaikan lewat gubahan lagunya.


Kesimpulan


Yang pasti, aku puas menonton film ini. Meskipun harus menahan kebosanan karena pace yang sungguh lambat, aku rasa kisah Minato ini sangatlah menarik dan sayang untuk dilewatkan.


Jadi, 4 dari 5 bintang untuk proses acceptance Minato terhadap Hoshikawa.


Best,
P.P. Rahayu