Judul: Pengantin Remaja
Penulis: Ken Terate
Tebal buku: 384 halaman
Tahun terbit: 2022
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Baca via Gramedia Digital
Dimabuk cinta, Pipit mengangguk sambil tersipu saat pacar tampannya mengajaknya menikah. Pipit masih SMA, tapi dengan gembira meninggalkan sekolah demi menjalani angan hidup indah bersama laki-laki yang ia sayangi.
“Cinta adalah soal hati, bukan usia.” Bukankah ada lagu yang bilang begitu?
Pipit yakin Pongky akan menjaga, melindungi, dan memenuhi semua kebutuhannya. Kalaupun tidak, cinta pasti akan menguatkan mereka dalam kondisi apa pun. Benarkah begitu? Pipit mulai bertanya-tanya setelah bulan madu berlalu. Tinggal di rumah mertua yang kekurangan air tapi kelebihan makian, memikirkan cicilan kompor gas... membuat dunianya jungkir balik nggak karuan.
Apakah cinta muda yang menyebabkan kekacauan ini? Apakah menjadi pengantin remaja berarti mimpi Pipit berhenti sampai di sini?
***
Dari dulu, Ken Terate selalu menjadi salah satu penulis favoritku. Ia selalu bisa menyampaikan isu-isu sosial penting tanpa harus begitu menggurui. Bagiku, novel ini mirip sekali dengan novel karya Andina Dwifatma yang berjudul Lebih Senyap dari Bisikan. Mungkin penceritaannya tidak seberat di LSdB, tapi, kisah Pipit-Pongky menjadi suatu ironi yang begitu mengenaskan.
Tentunya, aku menyadari bahwa tidak semua orang punya privilese untuk memahami bahwa pernikahan itu tidak akan mampu menjawab seluruh keruwetan hidup. Menikah dapat menyelesaikan masalah? Mana ada. Yang ada, masalahmu bisa tambah runyam. Apalagi kalau kamu tidak tahu apa tujuanmu menikah dan hanya memiliki pikiran pendek, hidup dengan cinta saja cukup.
Keputusan Pipit untuk menikah muda, bahkan ketika ia belum lulus dari sekolah menengah, tentu saja menghebohkan. Ibuk Pipit tentu saja melarangnya. Sayangnya, Pipit sudah kebanjur keras kepala. Ia hanya mau hidup bersama Pongky. Titik. Nah, enggak tahu aja Pipit kalau menikah tuh bukan cuma urusan dua orang. Ketika menikah, seseorang itu juga akan berurusan dengan keluarga pasangannya. Betapa sialnya Pipit ketika menyadari bahwa keluarga mertuanya sungguh menyebalkan dan membuat dirinya tersiksa.
Belum usai penderitaan Pipit yang harus menerima sikap Pongky yang seenaknya, ancaman kelaparan setiap malam, rasa tak aman karena tak pernah punya uang cukup, dan banyak kesulitan lainnya, Pipit kemudian hamil dan memiliki anak. Duh, cobaan apa lagi, ini?, mungkin demikian batin Pipit.
***
Dari awal, Ken Terate sudah membuat kita benci setengah mati kepada sosok Pongky. Dia ini tuh, sebenar-benarnya cowok <i>red flag</i> nan manipulatif. Kita juga bakalan sebel sama Pipit yang bikin kita gemes banget sama pemikirannya di awal. Tapi <i>again</i>, aku memahami kalau Pipit enggak punya privilese untuk memahami sebesar apa konsekuensi menikah, apalagi di usia masih sangat muda. Sungguh aku berharap waktu itu Ibuk Pipit atau Atin berhasil menyadarkan Pipit.
Bagiku, karakter yang masih sangat waras di sini adalah Ibuk Pipit dan Atin. Meskipun keduanya juga memang punya kekurangan, tapi kurasa keduanya masih sangat realistis. Mereka mampu mengupayakan hidup mereka sendiri dan tidak bergantung pada orang lain. Tentunya, sikap yang berkebalikan dengan Pipit.
Nah, untungnya, sepanjang cerita, sedikit demi sedikit, sikap Pipit berubah. Ia tahu pada akhirnya ia lah yang menanggung konsekuensinya untuk menikah di usia belia. Ia pun mulai bisa mengembangkan diri, meski masih sempat juga tertipu oleh suaminya yang enggak ada bagus-bagusnya itu. Aku sangat menghargai perubahan karakter Pipit di sini. Tentunya, sosok Atin dan Alicia menjadi salah dua kunci bagi Pipit untuk bisa menjadi lebih dewasa.
Menurutku, novel ini memiliki banyak sekali pesan yang ingin disampaikan. Aku berharap, akan lebih banyak lagi orang yang membaca novel ini. Bagaimanapun, pemahaman soal pernikahan memang sepenting itu. Keputusan untuk menikah harus dibarengu dengah pemahaman terkait konsekuensi yang juga akan didapatkan nantinya.
Jadi, 4 dari 5 bintang untuk kisah yang cukup dark ini.
Best,
P.P. Rahayu
Be First to Post Comment !
Post a Comment