Judul: Second Chance Summer (Kesempatan Kedua)
Penuli: Morgan matson
Penerjemah: Cindy Kristanto
Tebal buku: 456 halaman
Tahun terbit: 8 May 2012 (pertama terbit)
Baca di Gramedi Digital
Karena memiliki kakak-adik yang hebat, Taylor Edwards tidak pernah merasa dirinya luar biasa. Orang mengenalnya cuma karena ia selalu kabur saat menghadapi masalah berat. Lalu ayahnya mendapat kabar sangat buruk, sehingga keluarga mereka memutuskan untuk berlibur bersama di rumah musim panas.
Taylor terakhir ke tempat itu ketika berusia dua belas tahun, dan sama sekali tidak berniat kembali ke sana. Di rumah dekat danau tersebut, ia harus menghadapi orang-orang yang dikiranya sudah ia lupakan, misalnya Lucy, mantan teman baiknya, dan Henry Crosby, pacar pertama, yang sekarang ternyata jadi jauh lebih imut. Maka tiba-tiba Taylor dikepung berbagai kenangan yang ingin dilupakannya—namun kali ini ia tak bisa kabur.
Seiring hari-hari di pantai dan malam-malam memandangi bintang, Taylor lalu sadar bahwa ia mendapat kesempatan kedua—bersama para sahabat, keluarga, bahkan mungkin cinta.
Namun ia tahu bahwa begitu musim panas berlalu, tak mungkin ia bisa mendapatkan kembali apa yang hilang.
***
Well, sebenarnya Second Chance Summer ini merupakan rekomendasi dari Mbak Lila untuk 12 Reading Challenge tahun ini. Jujur, aku belum pernah membaca karya Morgan Matson sebelumnya. Jadi, aku tidak memiliki ekspektasi apa-apa saat membacanya. Sayangnya, aku butuh waktu cukup lama untuk membaca buku ini. Mungkin satu bulan lebih? Entahlah. Ada beberapa hal yang membuatku bosan saat awal-awal membacanya.
The Story
Bagi Taylor, liburan musim panas kali ini akan berbeda dari liburan musim panas sebelum-sebelumnya. Tepat waktu ia berulang tahun, sebuah fakta tak terduga disampaikan oleh kedua orang tuanya. Dad mengidap kanker dan divonis hanya punya waktu empat bulan sebelum semuanya berakhir. Baik Taylor, Warren (sang kakak), dan Gelsey (sang adik), fakta itu bukanlah sesuatu hal yang mudah mereka terima. Bagaimana mungkin Dad yang terlihat baik-baik saja, tiba-tiba saja mengidap penyakit yang begitu mematikan?
Dulu, liburan musim panas jadi salah satu liburan yang Taylor nantikan. Setidaknya, ia bisa bertemu dengan Lucy, kawan baiknya yang selalu menemaninya saat tinggal di rumah danau itu. Lalu, ada juga Henry Crosby, cowok yang menjadi pacar pertamanya saat berusia dua belas tahun. Sayangnya, suatu kejadian membuat hubungan Taylor dengan Lucy maupun Henry menjadi tak baik-baik saja. Bahkan, bisa dibilang sangat buruk. Well, Taylor adalah karakter yang begitu mudah lari dari suatu hal sulit yang seharusnya ia hadapi. Tak peduli bahwa keputusannya tersebut malah menyakiti orang-orang yang sebetulnya menyayangi dirinya.
Kali ini, mau tak mau Taylor harus berdamai dengan apa yang terjadi saat liburan musim panas lima tahun lalu. Ia harus menghadapi kenyataan bahwa umur Dad tak lama lagi, dan tentu saja soal hubungannya dengan Lucy dan juga Henry.
The Thought
Jadi, sebagai novel young adult, enggak ada yang salah, kok, dengan novel ini. In a way, mungkin kita bisa sedikit relate dengan Taylor yang selalu memilih jalan mudah saat menghadapi masalah, yakni kabur. Ia selalu tak siap menghadapi masalah yang ia rasa tak sanggup ia hadapi. Meskipun sebetulnya, ia sama sekali belum mencoba untuk mengambil risiko yang ada.
Meskipun kita bisa sedikit relate dengan karakteristik Taylor itu, harus kuakui, aku cukup sebal karena ternyata, kepengucatan Taylor ini terkadang sangat tidak masuk akal. Ia memilih untuk menghindar daripada jujur pada diri sendiri. Ia juga malah menyusahkan orang lain karena sikapnya itu. Rasanya ingin aku lempar kepalanya karena itu.
Yang membuat novel ini menarik, kita memang diajak untuk menyelami kisah Taylor lebih dalam. Kita dibuat penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi pada liburan musim panas masa lalu. Apa yang membuat Lucy bersikap begitu dingin pada Taylor? Mengapa interaksi antara Henry dan Talor begitu awkward? dan seterusnya.
Pada akhirnya, meskipun di awal sudah jelas tujuan dari liburan musim panas Keluarga Edwards ini, kita seolah dibuat lupa oleh tujuan awal itu. Yaa, di sini kita lebih diajak memahami bagaimana Taylor akhirnya belajar menghadapi masalah dan mencoba untuk menyelesaikan hal-hal yang belum selesai lima tahun lalu. Bukannya aku merasa itu jelek, ya. Tapi saat membacanya, aku seperti baru tersadar, "Oh, iya! Bagaimana dengan kabar Dad di tengah Taylor sedang menjalin kembali hubungannya dengan Lucy dan Henry?"
Lalu, apakah aku kaget dengan akhir cerita ini? Jujur, tidak. Aku sudah punya feeling kalau tidak akan ada sudden miracle yang terjadi untuk Dad. Untungnya, penceritaan saat momen itu terjadi, digambarkan cukup realistis oleh Morgan Matson. Meskipun aku tidak sampai menangis saat membacanya, tapi aku cukup bisa merasakan kehilangan dari diri Taylor.
Yang aku suka dari buku ini adalah, bagaiman Taylor mengingatkan kita, bahkan dalam lingkup sekecil keluarga, terkadang kita tidaklah mengenal satu sama lain. Momen-momen saat Taylor dan ayahnya pergi sarapan lalu dilanjutkan dengan melempar pertanyaan ke masing-masing, menjadi menarik untuk disimak. Dari situ, meskipun dalam waktu yang begitu sempit, Taylor mencoba untuk mempelajari hal tentang Dad sebanyak-banyaknya.
Meskipun pada akhirnya ada perkembangan dari karakter Taylor, aku tetap saja sebal dengannya. Kenapa, sih, Henry mau saja balikan sama Taylor? Dengan segala hal yang menyebalkan di diri Taylor, menurutku Henry deserves someone better.
Conclusion
Awalnya aku skeptis sih, memang, dengan ceritanya. Tapi ternyata, setelah kubaca pelan-pelan, banyak hal yang bisa dipelajari dari kisah Taylor dan keluarganya. Aku malah jadi penasaran dengan karya lainnya dari Morgan Matson. So, next time?
3.5 bintang untuk sampul yang menarik.
Sincerely,
Ra
Be First to Post Comment !
Post a Comment