Malam Terakhir: Kumpulan Cerpen dari Leila S. Chudori

Malam Terakhir

"Matanya menangis, tapi tidak ada air matinya. Itu pasti karena dia sudah kehabisan air mata, karena dia sudah lelah menangis." -- Rain.

Sumber: Goodreads.com

Judul: Malam Terakhir
Penulis: Leila S. Chudori
Tahun terbit: Februari 2018 untuk cetakan kelima
Tebal buku: 119 halaman
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama

Jujur, saya tidak ingat kapan terakhir kali saya membaca cerita serius seperti Leila S. Chudori. Bukannya saya sudah kehilangan rasa akan kisah-kisah yang demikian. Akan tetapi, saya memang sedang tidak ingin membaca kisah yang terlalu gelap dan menampar realitas.

Sebetulnya, saya mendapatkan buku ini dari supervisor saya sebelumnya. Sebagai orang-orang yang memiliki jiwa sosial tinggi, tentu kisah-kisah seperti Malam Terakhir terasa begitu cocok untuk dibagikan. Maka dari itu, ketika saya mendapat buku ini, saya merasa excited. Kapan lagi saya bisa membaca kisah lain dari Leila S. Chudori.

Saya dan kisah realitas sosial

Pada dasarnya, kisah-kisah yang diceritakan oleh Leila S. Chudori menjadi salah satu jenis tulisan yang saya sukai. Saya tahu bahwa banyak sekali realitas sosial yang tak seindah khayalan. Banyak hal-hal tabu yang sengaja tidak dibicarakan dan menjadi stigma di masyarakat. Maka dari itu, saya menyukai gaya bercrita dari Leila.

Malam Terakhir merupakan kumpulan cerpen pertama dari Leila yang saya baca. Kalau saya boleh jujur, saya lebih suka cerita panjang dari Leila. Pulang dan Laut Bercerita menjadi kisah-kisah favorit saya. Akan tetapi, saya akui apa yang dikatakan oleh Leila itu benar. Menuliskan cerita pendek tentu akan jauh lebih sulit untuk dilakukan. Terdapat aturan-aturan tak kasat mata yang hadir. Dengan demikian, menuliskan sejumlah cerita pendek dan kemudian membukukannya pasti tidaklah mudah.

Kisah-kisah yang diceritakan oleh Leila ini kalau boleh saya bilang merupakan jenis kisah yang frontal dan vokal, apalagi mengenai berbagai realitas sosial yang ada. Mulai dari identitas gender, eksplorasi diri, agama, seksualitas, hingga keberadaan dari minoritas.

Kisah favorit saya

Sumber: wallpaperflare, disunting oleh saya.

Salah satu kisah favorit saya adalah Air Suci Sita. Saya mengagumi cara Leila yang menganologikan kisah dari tokoh-tokohnya dengan kisah Rama, Shinta, dan Rahwana secara tersirat. Menurut saya, banyak hal yang ditekankan dalam kisah itu yang nyata adanya. Terkadang, berbagai kisah yang ada, bahkan dalam dunia wewayangan, masih banyak upaya mendiskreditkan keberadaan perempuan. Maka dari itu, kisah ini menjadi begitu menarik.

Lalu, ada juga kisah Untuk Bapak yang cukup menyentuh. Hubungan antara anak dan orang tua yang begitu syahdu selalu bisa membuat saya merasa hangat. Terakhir, Sepasang Mata Mentapa Rain juga menunjukkan bahwa di balik kepolosan anak-anak, tersimpan agensi yang begitu kuat. Anak-anak dengan caranya sendiri mampu menunjukkan bahwa mereka mengerti dan peduli akan sekitar.

Oh, iya, rasanya tidak adil apabila saya tidak menyinggung kisah terakhir di buku ini, yakni Malam Terakhir. Jujur, pertama kali membaca kisah tersebut, saya langsung teringat pada Laut Bercerita. Iya, kisah tersebut lagi-lagi menyentil kondisi ketika mahasiswa direpresi oleh para penguasa. Suatu hubungan yang jauh dari simetris dan begitu pilu. Ahh, membaca Laut Bercerita dan Malam Terakhir menimbulkan kesan yang sama bagi saya. Betapa tak adilnya orang-orang yang selalu menutup mereka.

Kesimpulan

Saya memang tak pandai membuat resensi sebuah kumpulan cerpen. Akan tetapi, kisah yang disajikan oleh Leila ini seolah menjadi peingat bahwa realitas sosial di sekitar kita tidaklah semuanya bahagia. Bagaimana kita bersikap dan memahami apa yang terjadi di sekitar kita menjadi sangat penting untuk memanusiakan manusia.

3.5 dari 5 bintang untuk Rain yang begitu polos dan murni.

Sincerely,
Ra

Be First to Post Comment !
Post a Comment