Aruna dan Lidahnya
Apakah gerangan yang menjadikan kita begitu pahit dan sarkastis? -- Aruna
Sumber: goodreads.com |
Penulis: Laksmi Pamuntjak
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tanggal terbit: 6 Agustus 2018, versi cover film
Tebal buku: 428 halaman
Jenis buku: Paperback
Baca via Gramedia Digital
Aruna Rai; 35 tahun, belum menikah. Pekerjaan: Epidemiologist (Ahli Wabah), Spesialisasi: Flu Unggas. Obsesi: Makanan.
Bono; 30 tahun, terlalu sibuk untuk menikah. Pekerjaan: Chef. Spesialisasi: Nouvelle Cuisine. Obsesi: Makanan.
Nadezhda Azhari; 33 tahun, emoh menikah. Pekerjaan: Penulis. Spesialisasi: Perjalanan dan Makanan. Obsesi: Makanan.
Ketika Aruna ditugasi menyelidiki kasus flu unggas yang terjadi secara serentak di delapan kota seputar Indonesia, ia memakai kesempatan itu untuk mencicipi kekayaan kuliner lokal bersama kedua karibnya. Dalam perjalanan mereka, makanan, politik, agama, sejarah lokal, dan realita sosial tak hanya bertautan dengan korupsi, kolusi, konspirasi, dan misinformasi seputar politik, kesehatan masyarakat, namun juga dengan cinta, pertemanan, dan kisahkisah mengharukan yang mempersatukan sekaligus merayakan perbedaan antarmanusia.
***
Pada akhirnya, saya berhasil membaca salah satu karya dari Laksmi Pamuntjak. Jujur, awalnya saya begitu penasaran dengan Amba, karya Laksmi yang fenomenal itu. Sayangnya, meski saya sudah mencoba, saya tetap tidak kuat membacanya. Saya berkali-kali DNF (did not finish) di tengah jalan. Sempat saya membaca hingga seperempat buku, tapi mood membaca saya malah menjadi jauh lebih berantakan. Jadi, berikut merupakan sedikit ulasan saya tentang Aruna dan Lidahnya.
Tentang Aruna dan Lidahnya
Sejujurnya saya tak tahu buku Aruna dan Lidahnya ini buku ke berapa yang ditulis oleh Laksmi. Yang pasti, buku ini memang ditujukan untuk membahas makanan secara khusus dan berhasil masuk nominasi untuk daftar pendek Penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa 2015 kategori Prosa.
Yang berkuasa menggelapkan segalanya.
Namanya Aruna. Seorang ahli wabah yang ditugaskan untuk menyelidiki wabah Flu Unggas di beberapa kota di Indonesia. Akan tetapi, diam-diam Aruna menyimpan obsesi pada makanan. Jadi, ia pun menyelipkan beberapa wisata kuliner di kota ia bertugas. Ia juga mengajak dua kawan baiknya, Bono dan Nadezhda, untuk menemani dirinya melakukan wisata kuliner.
Semua itinerary pun telah tersusun. Bagi Bono yang seorang chef, menyusun daftar restoran apa saja yang harus dikunjungi di beberapa kota tujuan Aruna, seperti Surabaya, Bangkalan, Palembang, Medan, Banda Aceh, Pontianak, dan juga Singkawang, bukanlah sesuatu hal yang sulit. Bono memang memiliki agenda sendiri, yakni melakukan riset untuk sajian di restorannya, Siria.
Sedangkan, bagi Nadezhda yang seorang penulis soal makanan, perjalanan kuliner itu akan sangat membantu dirinya menulis artikel ataupun bukunya. Maka dari itu, Nad pun setuju ikut rombongan Aruna dan Bono.
...karena kematian, sebagaimana kelahiran, khitanan, perkawinan, dan semua peristiwa penting lainnya yang terjadi dalam kehidupan seseorang, adalah perkara publik, dan oleh karenanya dipenuhi masalah-masalah orang lain.
"Sebuah virus tak akan pernah takluk, Farish. Ia kecil, ia sabar, ia mengganda dalam diam. Tak ada yang meghitung umurnya, tapi ia Tak pernah lupa. Suatu hari ia datang, menyerang, dan tak berdaya menangkalnya."
-- Aruna
Aruna memang menyelipkan agenda makan-makan di kunjungan kerjanya tersebut, akan tetapi bukan berarti Aruna akan melalaikan tugas. Ia tetap menjalankan tugas dengan baik karena salah satu rekan kerjanya, Farish, juga ikut diturunkan di tugas yang sama. Di sinilah, akhirnya Aruna mempelajari banyak hal, bukan hanya tentang makanan nusantara yang begitu nikmat dan beraneka rupa, tapi juga tentang karir dan cintanya.
Buku yang bikin lapar tapi malah kentang
Sumber: pexels.com, edited by me |
Saya harus mengakui bahwa Laksmi Pamuntjak merupakan penulis yang piawai mendeskripsikan makanan. Saya berkali-kali merasa lapar saat membaca deskripsi Laksmi. Yang paling saya ingat adalah ketika saya membaca deskripsi Pempek Palembang yang dimakan oleh Aruna dan kawan-kawan. Saya betul-betul merasa lapar saat itu juga.
Sebutkan tujuh hal paling dulu muncul di benak Anda ketika Anda mendengar kata "Racun".
Cemburu, fitnah, rasa percaya diri yang rendah, obesitas, pengkhianatan, paranoia, laki-laki pengecut.
Selamat! Angka sempurna!
...karena aku tahu hanya orang-orang yang mencintai yang tak meninggalkan.
Pada dasarnya, saya merasa bahwa premis yang diajukan oleh Aruna dan Lidahnya cukup menarik. Mengambil tema besar makanan, cinta, dan juga konspirasi membuat saya penasaran lebih lanjut tentang konspirasi apa yang akan digali oleh Aruna. Sayangnya, hal itu tidak tergambarkan di novel ini.
Ketika saya akan membaca novel ini, saya tahu bahwa saya harus tahan terhadap gaya bercerita Laksmi yang cukup lambat. Hal ini sudah tergambar jelas dari bagaimana Laksmi mendeskripsikan sosok Aruna dalam satu paragraf penuh yang tak berkesudahan. Saya sampai capai membawa halaman-halaman awal novel ini.
"Di sinilah letaknya, database terbaik manusia. otak kita, memori kita."
Lalu, agaknya saya kurang mengerti ketika Aruna mendapatkan mimpi-mimpi yang tak begitu relevan dengan kehidupan nyatanya. Ada kalanya saya malah merasa terganggu dengan cuplikan-cuplikan mimpi atau pikiran Aruna di setiap awal bab.
Selain itu, yang membuat saya kurang puas dari novel ini adalah, banyak sekali aspek yang tanggung. Baik dari kisah cintanya maupun konspirasi yang disebutkan. Bagi saya, kisah cinta yang disajikan antara Aruna dan Farish betul-betul tidak mendalam. Saya tidak merasa jatuh hati pada kedua sosok ini. Bahkan, saya sampai tak mengerti mengapa mereka akhirnya memutuskan untuk bersama. Menurut saya, chemistry keduanya tak terbangun begitu apik. Untuk kisah Bono dan Nad dalam novel ini memang tidak dibahas begitu mendalam. Cukup sayang ketika kedua tokoh sentral ini malah tak mendapatkan porsi yang cukup.
Kemudian, untuk konspirasinya sendiri, saya malah ingin gigit jari. Where is the big secret that should be revealed by Aruna? Lagi-lagi, saya merasa digantung oleh Laksmi. Konspirasi yang ia ingin jabarkan malah cenderung tak begitu 'wow'. Alhasil, malah membuat saya merasa bahwa kasus Flu Unggas yang ditangani Aruna malah cuma sekadar tempelan.
"Mencintai itu nggak gampang, Nak. Karena, mencintai berarti harus siap kehilangan. Tapi lebih baik pernah mencintai daripada nggak pernah mencintai."
"Aruna, aku nggak sebajingan yang kamu kira."
-- Farish
Kesimpulan
Kalau saya ditanya mengapa akhirnya tertarik membaca buku ini, alasannya cuma satu. Saya ingin tahu versi buku dari film Aruna dan Lidahnya yang berhasil memikat saya. Iya, film garapan Edwin dan dibintangi oleh Dian Sastrowardoyo, Oka Antara, Hannah Al Rashid, dan Nicholas Saputra itu begitu komikal dan menyenangkan. Jadi, saya berharap akan mendapatkan experience yang sama saat membaca novelnya. Sayangnya saya salah. Mungkin, ini adalah pertama kalinya saya lebih menyukai versi film dari suatu karya adaptasi.
3 bintang untuk seluruh deskripsi makanan tanpa henti dan berhasil membuat saya lapar.
Sincerely,
Puji P. Rahayu
Be First to Post Comment !
Post a Comment