Resensi: Purple Eyes - Prisca Primasari


Purple Eyes

oleh Prisca Primasari

3 dari 5 bintang

Image credit: goodreads.com
Judul: Purple Eyes
Penulis: Prisca Primasari
Genre: Fantasi, Roman
Penerbit: Penerbit Inari
Tahun Terbit: 2016
Tebal buku: 144 halaman
ISBN: 9786027432208
Baca via Gramedia Digital

Informasi lebih lanjut dapat dibaca di:

Entah mengapa, saya tiba-tiba saja tertarik untuk membaca Purple Eyes. Mungkin karena Prisca Primasari adalah salah satu penulis yang begitu familiar bagi saya. Lalu, premis yang dijanjikan dalam Purple Eyes cukup membuat saya tergugah. Well, siapa yang tidak penasaran dengan kisah yang melibatkan dua manusia yang berbeda dunia?

Lyre adalah asisten dari Hades. Iya, tidak perlu terkejut. Hades sang Dewa Kematian dalam mitologi Yunani. Jangan membayangkan Hades selalu berupa buruk dan tidak enak dilihat. Hades dalam kisah ini sungguh rupawan dan tidak begitu menakutkan. Memang tugas dari sang Dewa masih tetap sama, memutuskan kematian bagi para manusia, akan tetapi, pada dasarnya, yang memutuskan untuk mati adalah manusia itu sendiri.

Selama hampir 120 tahun, Lyre menjadi asisten Hades yang paling setia. Pekerjaan Lyre adalah mengantar setiap manusia yang berada di ambang kematian untuk menemui Hades. Hades pun memberikan pilihan bagi manusia tersebut untuk tetap hidup atau mati. Kebanyakan, manusia yang sudah berada di hadapan Hades memilih untuk mati.

Terkadang, sangat mebosankan menjalani kegiatan yang sama berulang-ulang. Sampai akhirnya, Hades ditugaskan untuk turun ke bumi karena ada kasus pembunuhan berantai yang dapat dibilang "merepotkan". Di saat-saat seperti inilah, Hades harus bertindak sebagai Dewa Kematian. Hades pun mengajak Lyre untuk turun bersamanya. Selama penyamaran mereka, Lyre memilih menggunakan nama Solveig dan Hades memakai nama Halstein.

Ketika turun ke bumi itulah, Solveig bertemu dengan Ivarr Amundsen, kakak dari salah satu korban pembunuhan berantai yang terjadi di Norwegia. Ivarr adalah sosok yang dapat dibilang mati rasa. Tidak air mata maupun emosi yang hadir saat adiknya tiada. Akan tetapi, selama Solveig berada di bumi, Halstein memberikan perintah pada Solveig supaya emosi itu muncul kembali dalam diri Ivarr Maka dari itu, Solveig pun sering menemui Ivarr dan... secara tidak langsung mulai membangkitkan emosi Ivarr yang terkubur dalam. Lalu, apa rencana Halstein yang sesungguhnya? Bagaimana, kalau dalam tugas yang tiba-tiba ini, Solveig jatuh cinta pada Ivarr?

"Jangan jatuh cinta padanya. Sebaliknya, buat dia jatuh cinta kepadamu." -- Ivarr.

Rasanya, sudah lama saya mengalami reading slumps. Ya, kira-kira, beberapa bulan ini saya rasanya tidak mampu membaca bacaan ringan sekalipun. Saya benar-benar tidak mampu. Terdengar berlebihan? Mungkin benar. Yang pasti, saya baru bisa mulai membaca beberapa hari ini. Memilih Purple Eyes sebagai bacaan pertama saya setelah reading slumps yang saya alami memang tidak salah. Saya meyukai kisah manis sederhana yang tidak terlalu muluk. Meskipun sederhana, saya menyukai keistimewaan yang terselip di dalamnya.

Awalnya, saya tidak tahu sama sekali kalau Purple Eyes merupakan novel fantasi. Baiklah. Saya hanya tertarik karena novel ini ditulis oleh Prisca. Selebihnya, saya tidak tahu apapun mengenai novel ini. Barulah ketika saya memilah unduhan-unduhan saya di Gramedia Digital, saya baru menyadari bahwa premis yang ditwarkan oleh novel ini begitu menarik. Seorang asisten Dewa Kematian jatuh cinta kepada manusia biasa. Dua orang yang berbeda dunia, saling jatuh cinta. Mengapa mereka bisa jatuh cinta? Lalu, bagaimana akhir dari kisah mereka?

Sesuai dugaan saya, tulisan dari Prisca begitu manis dan menyentuh. Oh, ya, saya tahu, novel ini lebih pantas apabila disebut dengan novellete. Sama seperti French Pink, premis yang diajukan juga sederhana. Novel yang tak lebih dari 150 halaman ini, cukup membuat saya tersenyum manis saat membacanya. Tidak membosankan. Bahkan, saya dibuat bertanya-tanya, apa sebenarnya yang direncanakan oleh Halstein kepada Ivarr. Saya cukup menyukai proses jatuh cinta antara Solveig dan Ivarr. Meskipun, harus saya akui, saya merasakan sedikit kekosongan di antara mereka.

Sampul dari novel ini mungkin terlihat sedikit... tidak menarik. Entahlah. Saya merasa sampul dari novel ini kurang hidup. Akan tetapi, mungkin itu hanya preferensi saya. Saya mengharapkan ada ilustrasi yang lebih hidup untuk novel ini. Seingat saya, sampul yang dikeluarkan oleh Penerbit Inari lainnya cukup hidup. Sebagai contoh, Love Theft--yang akan saya ulas di postingan selanjutnya. Alangkah baiknya apabila novel ini cetak ulang, akan ada elemen lain yang ditambahkan pada sampulnya.

Bagi saya, Purple Eyes merupakan novel yang tepat untuk dijadikan bacaan ringan. Setidaknya, ditemani kudapan manis dan teh atau cokelat hangat, membaca novel ini bisa menjadi media untuk bersantai,

4 bintang untuk Ivarr Amundsen yang mengesankan.

Sincerely,
Puji P. Rahayu
Be First to Post Comment !
Post a Comment