Resensi: Pasung Jiwa - Okky Madasari


Pasung Jiwa
Kita mungkin punya kehendak bebas. Mungkin. Tapi toh pada akhirnya, ada yang membatasi segala kehendak yang kita miliki itu.

oleh Okky Madasari

4 dari 5 bintang

Sumber gambar: Goodreads
Judul: Pasung Jiwa
Penulis: Okky Madasari
Desai sampul: Rizky Wicaksono
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit: Mei, 2013
Tebal buku: 328 halaman
ISBN: 978-979-22-9669-3
Baca via iJakarta


Apakah kehendak bebas benar-benar ada?Apakah manusia bebas benar-benar ada?
Okky Madasari mengemukakan pertanyaan-pertanyaan besar dari manusia dan kemanusiaan dalam novel ini.
Melalui dua tokoh utama, Sasana dan Jaka Wani, dihadirkan pergulatan manusia dalam mencari kebebasan dan melepaskan diri dari segala kungkungan. Mulai dari kungkungan tubuh dan pikiran, kungkungan tradisi dan keluarga, kungkungan norma dan agama, hingga dominasi ekonomi dan belenggu kekuasaan.

Info lebih lanjut dapat dibaca di:

Pernahkah kalian memikirkan, apakah kehendak bebas itu benar-benar ada? Memang dikatakan kalau Hak Asasi Manusia merupakan hak yang melekat karena kita adalah manusia. HAM merupakan satu hal yang universal dan dimiliki oleh setiap orang, dimanapun mereka berbeda. Adanya HAM seolah-olah menjamin bahwa kebebasan seseorang dalam berlaku dan bertindak dapat terjadi. Akan tetapi, yang menjadi pertanyaan kemudian adalah, apakah setiap keputusan yang kita ambil, tindakan yang kita lakukan, murni pengejawantahan dari kehendak bebas yang kita miliki? Apakah benar, kita ini memiliki kehendak bebas? Bukankah pada akhirnya keseluruhan keputusan yang kita ambil dan tindakan yang kita lakukan merupakan hasil kontemplasi dari batasan-batasan yang ada dalam masyarakat? Batasan-batasan yang tanpa sadar telah mengekang kehendak bebas kita.

Tak pentinglah bagaimana orang memanggilku. Karena aku tetaplah aku. Tak peduli bagaimana wujudku, aku tetaplah aku. -- hlm. 56 

Sepenggal Cerita
Sasana dan Jaka Wani. Dua orang yang berasal dari latar belakang yang berbeda. Akan tetapi, dapat bertemu dan saling bekerja sama untuk mencapai keinginan terdalam mereka, bebas sebagai seorang manusia.

Bagi Sasana, musik dangsut merupakan bentuk kebebasan yang ia inginkan. Sejak kecil. orang tuanya menginginkan Sasana untuk belajar musik klasik. Kursus piano setiap dua minggu sekali membuat Sasana dapat menghafal berbagai komposisi gubahan Mozart, Bach, dan lainnya. Meskipun terlihat Sasana menguasai semua hal dalam hidupnya--baik dalam bermusik maupun prestasi akademik, Sasana menyadari, jiwanya berontak. Ia tak tahan harus berpura-pura menyukai hal yang tak ia sukai. Suatu ketika, Sasana tak sengaja mendengarkan musik dangdut dari kampung di belakang rumahnya. Sejak saat itu, Sasana menyadari bahwa dirinya ingin bebas. Bebas dari segala tuntutan yang dilayangkan padanya.

Tempat ini akan menyelamatkanku dari ketidakwarasan. Ini tempat pembebasan. Bebas dari ketakutan, bebas dari kesintingan. Saat semua yang sinting adalah normal, saat kewarasan adalah keanehan. Apa yang tak boleh kulakukan di sini? Aku sedang tidak waras.

Jaka Wani atau yang sering dipanggil Cak Jek hanyalah seorang pengamen biasa. Bersama dengan Sasa, Cak Jek berusaha menunjukkan kecintaannya terhadap musik. Tak ia pedulikan keseluruhan tatanan dan norma dalam masyarakat yang terkadang memandang rendah pekerjaan yang ia geluti. Bagi Cak Jek, musik sudah menjadi darahnya. Darah yang mengalir di tubuhnya tanpa kenal henti.

Pertemuan Jaka Wani dan Sasana layaknya sebuah takdir. Mereka dipertemukan, disatukan oleh satu tujuan, kemudian dipisahkan oleh pasung-pasung kebebasan. Sasana yang harus menghadapi penjara ketidakwarasan dan Jaka Wani yang harus berjuang menjadi mesin di sebuah pabrik. Keduanya menyadari, apa yang mereka alami adalah suatu bentuk penahanan kebebasan yang mereka miliki. Kebebasan yang entah kapan dapat mereka raih. Nyatanya, apa yang ada di masayrakat, telah membatasi kehendak bebas mereka.

"Pikiranku ini sebenarnya bukan punyaku. Ini pikiran banyak orang yang kebetulan saja ada di dalam diriku." Banua, hlm. 137. 
"Jika kebebasan itu ada, aku tak akan pernah ketakutan lagi. Kebebasan baru ada jika ketakutan sudah tidak ada." Sasana, pg. 144 

Secuil Pendapat
Membaca Pasung Jiwa memang tidak semudah yang aku bayangkan. Sejak aku membaca Entrok, aku memang cukup penasaran dengan semua novel karangan Okky Madasari. Aku tertarik dengan cara Okky menyampaikan berbagai bentuk kritik sosial dalam bentuk cerita. Aku puas membaca Entrok karena di sanalah, Okky mengungkapkan pendapatnya akan sejarah hingga feminisme. Dalam Pasung Jiwa, aku seolah-olah diajak untuk menyelami mengenai makna kebebasan--and to some extent tentang kewarasan. Setelah aku membaca novel ini pun, aku semakin sadar, apa yang ada di dunia ini, apa itu baik, buruk, normal, tidak normal, waras, dan tidak waras hanyalah konstruksi sosial yang dibuat oleh masyarakat. Aturan dan tatanan yang ada, nyatanya semakin membatasi kehendak bebas yang kita miliki.

Resensi Pasung Jiwa oleh Pui P. Rahayu
Mungkin banyak yang merasa aneh saat membaca Pasung Jiwa. Aku akui memang tidak memudah membacanya. Akan tetapi, aku cukup senang membaca novel yang membuatku berpikir lagi akan kehidupan. Dari awal pun, aku sudah skeptis dengan adanya "kenormalan" dan kebalikannya. Bagiku, tetap saja masyarakat yang menentukan apa itu normal dan tidak.

Kesimpulan
Hidup sebagai manusia itu tidak mudah. Menjadi normal mungkin saja telah membuat diri kita menjadi tidak normal. Membuat jiwa kita terpasung sedemikian rupa. Untuk kalian yang ingin menelaah lebih lanjut akan kehidupan, Pasung Jiwa bisa menjadi pilihan untuk dibaca.

"Tak ada jiwa yang bermasalah. Yang bermasalah adalah hal-hal yang ada di luar jiwa itu. Yang bermasalah itu kebiasaan, aturan, orang-orang yang mau menjaga tatanan. Kalian semua harus dikeluarkan dari lingkungan mereka, hanya karena kalian berbeda."
Seluruh hidupku adalah perangkap.Tubuhku adalah perangkap pertamaku. Lalu orangtuaku, lalu semua orang yang kukenal. Kemudian segala hal yang kuketahui, segala sesuatu yang kulakukan. Semua adalah jebakan-jebakan yang tertata di sepanjang hidupku. Semuanya mengurungku, mengungkungku menjadi tembok-tembok tinggi yang menjadi perangkap sepanjang tiga puluh tahun usiaku. — Sasana, hlm. 293.
4 bintang untuk Sasana dan juga Jaka Wani.

Sincerely,

Puji P. Rahayu
Be First to Post Comment !
Post a Comment