An Ember in the Ashes
People could change!
oleh Sabaa Tahir
4 dari 5 bintang
Sumber gambar: Goodreads |
Penulis: Sabaa Tahir
Penerjemah: Yudith Listiandri
Pemeriksa Bahasa: Mery Riansyah
Proofreader: Titish A.K.
Design Cover: Aufa Aqil Ghani
Penerbit: Penerbit Spring
Tahun terbit: November 2016
Tebal buku: 520 halaman
ISBN: 978-602-74322-8-4
Pinjam di Perpustakaan Pusat, Universitas Indonesia.
Laia seorang budak. Elias seorang prajurit. Keduanya bukan orang merdeka.
Saat kakak laki-laki Laia ditahan dengan tuduhan pemberontakan, Laia harus mengambil keputusan. Dia rela menjadi mata-mata Komandan Blackcliff, kepala sekolah militer terbaik di Imperium, demi mendapatkan bantuan untuk membebaskan kakaknya. Di sana, dia bertemu dengan seorang prajurit elit bernama Elias.
Elias membenci militer dan ibunya, Sang Komandan yang brutal. Pemuda ini berencana untuk melarikan diri dari Blackcliff, menanggung risiko dicambuk sampai mati jika ketahuan. Dia hanya ingin bebas.
Elias dan Laia. Keduanya akan segera menyadari bahwa nasib mereka akan saling silang, dan keputusan-keputusan mereka akan menentukan nasib Imperium, dan bangsa mereka.
***
Aku selalu percaya bahwa lingkungan akan selalu mempengaruhi keadaan diri seseorang. Mungkin, ini adalah salah satu bentuk penerapan dari komunitarianisme. Akan tetapi, bukan berarti seseorang tidak memiliki keyakinan dari dirinya sendiri. Kalau aku ingat lagi, ada satu kalimat yang diucapkan oleh--oke, aku lupa siapa--entah St. Augustine atau Thomas Hobbes--man is evil. Aku sih pada dasarnya tidak setuju juga dengan pernyataan ini. Bagiku, karakter dari seseorang akan terbentuk kembali oleh lingkungannya--dan juga pandangan hidupnya. Sehingga, seseorang seperti Elias yang ditempa sedemikian rupa dalam lingkungan yang begitu keras, dapat menjadi resisten terhadap 'apa yang seharusnya ia lakukan'.
Cerita ini bermula dari penyerbuan rumah Laia dan keluarganya. Bagi Laia, apapun yang terjadi, ia harus bisa menyelamatkan kakaknya--Darin--yang ditangkap oleh Mask--prajurit andalan Imperium. Untuk itu, Laia mencoba untuk mencari kawanan Resistence yang sedari dulu menginginkan pemberontakan atas Imperium. Entah dengan keajaiba apa, akhirnya Laia bertemu dengan kelompok Resistence. Satu-satunya cara yang harus dilakukan oleh Laia untuk menyelematkan Darin adalah, dengan menjadi mata-mata Resistence. Maka dari itu, Laia pasrah saat ia harus menjadi budak bagi Komandan Blackliff yang kejam dan tidak berperasaan--Keris Veturia.
Di lain sisi, ada Elias Veturia yang begitu dikagumi di seluruh Blackliff. Ia memiliki kecerdikan serta ketangkasan terbaik di antara murid-murid Blackliff. Statusnya sebagai anak komandan Blackliff, membuat Elias harus sebisa mungkin bersikap layaknya murid Blackliff. Meskipun, pada nyatanya, Elias sama sekali tidak ingin menjadi seperti 'mereka'. Dengan demikian, Elias merencanakan untuk kabur dari Blackliff di hari kelulusannya. Sayangnya, takdir tidak memberikan kehidupan yang mudah bagi Elias. Aughur telah menggariskan takdir Elias dan ketiga murid terbaik Blackliff lainnya.
Sumber gambar: google, disunting oleh saya. |
Sesungguhnya, aku kasihan sekali dengan Laia. Hidupnya benar-benar menderita sekali. Aku bahkan tak bisa membayangkan bagaimana kehidupan seorang budak. Apalagi, ditambah dengan berbagai macam siksaan yang diterima, membuatku trenyuh, in someway. Kehidupan Elias pun terkadang juga membuatku tertarik. Intinya, aku masih suka dengan gaya bercerita dari Sabaa Tahir. Bahkan, aku jadi penasaran banget A Torch against the Night. Eugh, sungguh pun aku jadi penasaran. Aku penasaran dengan bagaimana Keenan nantinya. Hoho.
Pada intinya, An Ember in the Ashes ini mempunyai sisi yang aku sukai. Regarding the weakness of it, aku masih mau mengikuti An Ember in the Ashes.
Sincerely,
Puji P. Rahayu
makasih reviewnya , aku belum baca
ReplyDeleteSama-sama, mbak. Terima kasih sudah berkunjung :D
DeleteWah, mungkin bisa dicoba mbak kalau tertarik dengan YA-Fantasy :)