O
Bisakah kita belajar dari seekor moinyet? Ataukah, si monyet itulah yang belajar dari kita?
karya Eka Kurniawan
3 dari 5 bintang
Sumber gambar: goodreads.com |
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Penyelia naskah : Mirna Yulistianti
Desain sampul dan ilustrasi : Eka Kurniawan
Proofreader : Angka dan Sasa
Tahun terbit : Juni 2016, cetakan kedua
ISBN : 978-602-03-2559-0
Tentang seekor monyet yang ingin menikah dengan kaisar dangdut.
Info lebih lanjut dapat dibaca di:
Bisakah kita belajar dari seekor monyet? Ataukah, si monyet itulah yang dapat belajar dari kita?
Kira-kira, premis itulah yang ingin diangkat oleh Eka Kurniawan. O merupakan cerita tentang seekor monyet bernama O yang ingin menjadi manusia. Bermula dari kekasihnya--Entang Kosasih--yang terus-menerus menyatakan bahwa seekor monyet, kalau berusaha sedemikian rupa, dapat menjadi manusia.
Semua dongeng diciptakan oleh monyet-monyet tua untuk menciptakan masalah-masalah besar bagi monyet-monyet yang lahir belakangan.--hlm. 6.
Seperti sering dikatakannya, hidup hanya perkara siapa memakan siapa. Jika ia ingin bertahan hidup, jangan biarkan makhluk lain memakan dirinya. Kirik, hlm. 120.
Untuk itulah, O rela menjadi monyet topeng monyet bersama pawangnya, Betalumur. Membicarakan Betalumur, memang tidak ada sifat baik yang melekat pada dirinya. Betalumur hanyalah seorang pawang topeng monyet yang dikatakan tidak memiliki masa depan. Ia hanya mencoba untuk mendapatkan banyak uang yang kemudian digunakan untuk mabuk-mabukan. Begitulah kehidupan O bersama Betalumur. Bekerja setiap hari untuk mendapatkan uang.
Pada dasarnya, cerita dalam novel O tidak sesederhana si monyet dan pawangnya. Akan tetapi, masih banyak tokoh-tokoh lain yang bertebaran. Entahlah. Mungkin Eka sengaja menebar berbagai kisah dalam satu buku. Mencoba untuk menyisipkan sebanyak mungkin nilai moral di dalamnya.
Jika ia mengetahui sesuatu, ia akan mengatakannya. Jika tak ada apa pun yang bisa dikatakan, ia tak akan mengatakan apa pun. Jika yang dihadapinya tampak sumir, ia berterus-terang. hlm. 254.
"Dunia yang membuatku jahat. Dunia yang membuat manusia menjadi binatang." hlm. 376.
Kalau melihat dari judul dan sampulnya, maka pembaca akan bertanya-tanya sebenarnya novel ini tentang apa. Apalagi, blurb yang disajikan pun hanya satu kalimat saja. Sungguh membuat penasaran kalau menurut saya. Pembaca pasti bertanya-tanya, memang apa itu 'O'? dan mengapa 'seekor monyet ingin menjadi manusia?'
Cerita ini panjang kalau saya bilang. Dan memang tidak fokus pada kehidupan O. Masih ada kehidupan Kirik, Ma Kungkung, Mat Angin, Siti, Armo Gundul, Rini Juwita, Marko, Rudi Gudel, Mimi Jamilah, dan lainnya. Saking banyaknya, saya pun tidak dapat menghapal keseluruhan namanya. Kalau ditanya, apa sih nilai moral yang paling melekat, maka saya akan menjawab, "Terimalah takdir yang sudah digariskan oleh Tuhan. Apapun konsekuensinya, kita harus dapat menghadapinya. Bagaimanapun, Tuhan tidak akan mengubah diri kita menjadi apa yang kita inginkan."
Sumber gambar: google.com, disunting oleh saya. |
Membaca novel setebal 470 halaman ini memang membutuhkan waktu yang lama. Saya sendiri baru bisa menyelesaikannya setelah dua minggu. Kalau dibilang novel ini merupakan bentuk fabel untuk dewasa, maka saya akan menyebutnya sebagai semi fabel dewasa. Cerita ini terdiri dari campuran fabel dan karya fiksi biasa. Sehingga, bentuk novel ini dapat dikatakan baru karena belum banyak penulis yang menggunakan cara bercerita seperti ini. Well, dapat dikatakan kalau Eka Kurniawan ini adalah pelopor gaya bercerita semi fabel.
Apakah kemudian saya puas setelah membaca novel ini? Maka saya akan bilang 50:50. Mengapa? Di satu sisi, saya cukup terkesan dengan cara Eka bercerita. Semi fabel seperti ini membuat saya penasaran dengan apa yang akan terjadi di akhir cerita? Kemudian, saya tidak puas dengan banyaknya tokoh dan cerita yang diselipkan. Cenderung membuat saya bingung dan tak paham apa yang sebenarnya ingin disampaikan oleh Eka. Tapi mungkin ini karena saya saja yang tidak terbiasa membaca novel yang seperti ini.
Tanpa masa lalu, kau tak akan memiliki masa depan. hlm. 453.
Ehm, mungkin untuk teman-teman yang memang menyukai karya-karya yang tidak biasa, O bisa menjadi salah satu pilihan.
Sincerely,
Puji P. Rahayu
Catatan typo:
Saya nggak tahu sih ini memang sengaja dibuat demikian atau tidak, tapi menurut saya, kata 'kuatir' akan lebih baik bila diganti dengan 'khawatir'
manusia zahiliah --> manusia jahiliah (hlm. 157)
"Bagaimana senjata itu ada di tangan monyet. --> "Bagaimana senjata itu ada di tangan monyet?" (hlm. 228)
"Tunggu kami di akherat." --? "Tunggu kami di akhirat."
Be First to Post Comment !
Post a Comment