Buah Tangan dari Jerman: Telaah dan Terjemahan Tiga Karya Awal Mori Ogai by Bambang Wibawarta | Book Review

Buah Tangan dari Jerman:
Telaah dan Terjemahan Tiga Karya Awal Mori Ogai

By Bambang Wibawarta
2 of 5 stars

Image source: goodreads.com
Penyunting         : Chandra Gautama
Gambar sampul : Kazue Ota
Tahun terbit       : Januari 2003
Tebal buku        : viii+299 halaman
Penerbit            : Kalang
ISBN                : 979-97354-0-8
Buntelan dari Mbak Truly Rudiono

Informasi lebih lanjut dapat dibaca di:

Buah Tangan dari Jerman merupakan sebutan bagi tiga karya awal Mori Ogai. Mori Ogai sendiri adalah seorang sastrawan besar dalam kesusastraan modern Jepang. Ia tidak hanya dikenal sebagai sastrawan, tetapi juga sebagai dokter di dinas ketentaraan dan Kepala Biro Kesehatan Angkatan Darat. Selain itu, Ogai juga aktif menjadi kritikus sastra, sejarawan, penerjamah, dan ahli kearsipan. Membaca karya Ogai ini, akan membuka mata kita akan perkembangan kesusatraan Jepang modern, khususnya setelah Restorasi Meiji.

Garis Besar Inti Cerita
Dalam buku Buah Tangan dari Jerman ini, ada tiga cerita pendek yang ditulis oleh Mori Ogai, yakni "Penari" (Marihime), "Catatan Buih di Atas Air" (Utakata no Ki), dan "Pengantar Surat" (Fumizukai). Ketiganya merupakan cerita pendek yang idenya diilhami dari pengalaman Ogai selama di Jerman.

Cerita "Penari" mengisahkan pengalam Ota Toyotaro selama menempuh pendidikan di Jerman. Pada suatu hari, Ota bertemu dengan Elis yang kekurangan uang untuk memakamkan Ayahnya. Karena kebaikan hatinya, Ota bersedia meminjamkan jam tangannya untuk Elis. Sejak saat itu, keduanya menjadi dekat. Sayangnya, hubungan ini diketahui oleh atasa Ota. Dengan sangat terpaksa, seluruh tunjangan pendidikan dan kehidupan Ota dicabut. Tentunya, hal ini membuat Ota tidak memiliki tempat tinggal. Untungnya, Elis mengulurkan bantuan dan mau menampung Ota di rumahnya. Tinggal di bawah atap yang sama membuat Ota dan Elis menjadi dekat. Meskipun demikian, Ota mengalami dilema saat pejabat pemerintah Jepang menghubungi dirinya. Apakah ia akan tetap bersama Elis dan melepaskan kesempatan untuk kembali ke negara asalnya? Atau sebaliknya. Meninggalkan Elis untuk kembali ke Jepang.

Lalu, cerita "Catatan Buih di Atas Air" mengisahkan seorang pemuda bernama Kosei yang bertemu dengan Marie, gadis penjual bunga violet yang ditemuinya enam tahun yang lalu. Melepaskan sikap aslinya, Marie menjadi gadis yang benar-benar berbeda. Kosei saja sampai tidak mengenalinya. Akan tetapi, keduanya tetap dekat. Suatu ketika, Marie mengajak Kosei pergi ke Starnbergersee. Di sana, Marie menceritakan kehidupannya. Kosei terus menemain Marie sampai akhir. Hingga akhirnya, Kosei dan Marie pergi menyusuri Danau. Di sanalah mereka bertemu dengan Raja Ludwig II dan dokter pribadinya.

Terakhir, cerita "Pengantar Surat" mengisahkan tentang Kobayashi dan Ida Hime. Kobayashi merupakan anggota militer yang sedang mengikuti latihan di Jerman. Saat mengunjungi salah satu rumah pejabat, Kobayashi bertemu dengan Ida Hime. Salah satu anak perempuan tercantik di keluarga itu. Yang membuat Kobayashi heran adalah, Ida menitipkan sepucuk surat untuk istri Menteri Daam Negeri. Kobayashi sama sekali tak memiliki bayangan apa guna surat yang dibuat oleh Ida.

Persamaan dari Ketiga Cerita
Dari ketiga cerita tersebut, terdapat beberapa persamaan yang cukup kuat dan melekat. Yang pertama, atar tempat dan waktu yang dugunakan adalah sama. Ogai menggunakan latar Jerman di ketiga cerita tersebut. Kemudian, ia juga mengambil latar waktu awal modernisasi Jepang, khususnya saat Restorasi Meiji. Sehingga, sangat terasa kalau ketiga cerita ini memiliki napas yang sama.

Selain persamaan tentang latar, ada juga persamaan dari akhir kisah dari tiga cerita di atas. Entah mengapa, Ogai sepertinya sengaja membuat akhir kisah ceritanya tidak bahagia. Khususnya untuk tokoh perempuan yang muncul. Ketiga tokoh perempuan yang utama dalam cerita ini tidak mendapatkan akhir yang bahagia. Elis dalam cerita "penari" berakhir menjadi gila. Lalu, Marie di cerita "Catatan Buih di Atas Air" berakhir meninggal dunia karena terbentur pancang, dan Ida Hime di "Pengantar Surat" terampas kebebasannya karena memutuskan untuk menjadi pelayan raja. Jadi, kalau dilihat kembali, ketiga cerita yang disajikan memang tidak ada yang dapat menghibur.

Mori Ogai
Penampilan Fisik yang "Memukau"
Entah memang penerbitnya yang menyediakan atau memang pengarangnya yang menginginkannya, buku ini termasuk buku yang "kaya". Kenapa aku bisa mengatakan hal seperti itu? Karena memang kertas yang digunakan bukanlah kertas yang biasanya digunakan untuk novel. Sebenarnya, aku tidak tahu apa nama kertasnya. Pokoknya, buku ini menggunakan kertas seperti kertas yang digunakan untuk ensiklopedia. Membuat berat buku ini menjadi berlebih. Sayangnya, menurutku hal ini cukup menjadi pemborosan. Dengan jenis kertas yang seperti itu, harusnya tersedia semacam iustrasi untuk mendukung cerita. Menurutku, sayang sekali kalau menggunakan kertas seperti itu tanpa dimanfaatkan dengan baik.

Sedangkan, dari segi sampul sendiri, aku cukup puas. Gambarnya cantik dan menggambarkan kesedihan setiap tokoh perempuan di buku ini. Apalgi, pemilihan warnya sudah pas. Menurutku, komposisinya sudah pas.

Sebuah Pemikiran Singkat Peresensi
Well, ini pertama kalinya aku membaca bentuk buku yang seperti ini. Sejujurnya, aku bingung mau menganggap buku ini sebagai karya fiksi atau non fiksi. Di dalam buku ini memang mencantumkan cerita pendek utuh, akan tetapi, fokus dari buku ini adalah sebuah telaah cerita yang dilakukan oleh Bambang Wibawarta. 

Untuk ceritanya sendiri, aku lumayan suka saat membacanya. Meskipun terkadang aku tidak memahmi maksudnya. Dalam artian, cara bercerita Mori Ogai tidak familiar untukku. Akan tetapi, twist yang ia coba sajikan cukup menarik. Awalnya aku memang mengernyit saat membaca cerita Ogai, tapi, lama-kelamaan kernyitan itu hilang. Sayangnya, cerita ini bukanlah cerita yang aku minati. Jadi, istilahnya aku hanya sekadar baca tanpa benar-benar menyukainya. Apalagi, saat membaca bagian telaahnya. Aku kurang begitu menyukai pembahasan yang dituliskan. Entah mengapa. tapi mungkin ini memang masalah selera.

Yap. Sekian deh dari aku.

2 bintang untuk karya Mori Ogai



Be First to Post Comment !
Post a Comment