The School for Good and Evil #2
Dunia Tanpa Pangeran
"Semua kisah dongeng bisa diputarbalikkan demi mencapai suatu tujuan."--hlm. 200.
By Soman Chainani
3.5 of 5 stars
Ilustrasi : Iacopo Bruno
Genre : Fantasy, Young Adult, Middle Grade.
Pengalih bahasa : Kartika Sofyan
Penyunting : Agatha Tristanti
Desain : Yanyan Wijaya
Tebal buku : 512 halaman
Tahun terbit : Juni 2015, Cetakan kedua.
Penerbit : Bhuana Sastra (Imprint dari PT. BIP)
ISBN : 978-602-249-949-7
Buntelan dari penerbit.
Sophie dan Agatha telah berhasil pulang ke Gavaldon, menjalani "bahagia selamanya" versi mereka. Namun, hidup tak seperti dongeng yang mereka harapkan.
Agatha diam-diam berharap seandainya ia memilih akhir bahagia yang lain bersama pangerannya. Permohonan rahasia itu membuka kembali pintu menuju Sekolah Kebaikan dan Kejahatan. Tak disangka, dunia yang dulu pernah ia ketahui bersama Sophie ternyata telah berubah.
Penyihir dan putri, tukang tenung dan pangeran, bukan lagi musuh. Ikatan baru telah terbentuk, menghancurkan hubungan lama. Namun dibalik hubungan yang rumit antara Kebaikan dan Kejahatan ini, perang sedang dipersiapkan. Musuh yang sangat berbahaya tersembunyi dibalik topeng wajah yang mereka kenal. Saat Agatha dan Spohie berjuang untuk memulihkan kedamaian, sebuah ancaman tak terduga bisa menghancurkan segalanya dan semua orang yang mereka cintai. kali ini, ancaman itu datang dari dalam diri mereka sendiri.
Informasi lebih lanjut dapat dibaca di:
Well, first thing first. Aku ingin mengucapkan terima kasih kepada Mbak Dian yang menawariku untuk meresensi buku kedua dari seri The School for Good and Evil. Sejak pertama kali aku membaca tulisan Soman Chainani ini, aku penasaran dengan akhirnya. Bisa dibilang, akhir dari seri satu memang cukup menggantung. Bahkan, masih banyak misteri yang tersimpang. Alhasil, saat aku ditawari untuk meresensi buku ini, aku langsung bersemangat untuk menerimanya. Bahkan, aku mencoba untuk menyelesaikan membaca buku ini di tengah-tengah kesibukanku mengerjakan tugas di semester lima.
Setelah berhasil kembali ke Gavaldon, Sophie dan Agatha berpikir bahwa memang inilah akhir kisah dongeng mereka. Kembali ke desa dan menjadi orang biasa. Sayangnya, baik Sophie maupun Agatha memanjatkan permohonan. Akhirnya, tanpa sengaja mereka kembali ke Sekolah Kebaikan dan Kejahatan. Sayangnya, sekolah itu telah berubah. Sekolah tersebut tidak lagi terbagi berdasarkan kebaikan dan kejahatan. Tetapi terbagi menjadi Sekolah Perempuan dan Laki-laki.
"Kau dan aku, Aggie. Hanya itu yang kubutuhkan supaya aku Baik." Sophie, hlm. 35.
Selain itu, kemundulan Dekan Saders di Sekolah Perempuan membuat Profesor Dovey dan Lady Lesso tak dapat berkutik. Bahkan, hampir semua guru perempuan tidak mampu membendung tindakan Dekan Saders yang misterius. Di sisi lain, Sekolah Laki-laki diambil oleh Tedros yang sakit hati karena pilihan Agatha. Ia bersumpah ingin menyegel Storian agar dongeng Sophie dan Agatha bisa berakhir berbeda.
Mengetahui Storian dikuasai oleh Tedros, baik Sophie dan Agatha berusaha untuk mendapatkan Storian dan menulis uling akhir dongeng mereka. Berbagai cara dilakukan sebelum Uji Dongeng yang mengancam jiwa Sophie dan Agatha dimulai. Akhirnya, Sophie pun rela masuk ke dalam Sekolah Laki-laki tanpa ditemani oleh Agatha. Saat itulah, Sophie mengetahui rahasia Tedros dan Agatha mengetahui rahasia Dekan Saders.
Berbagai intrik terjadi di buku ini. Mulai dari kekhawatiran Agatha akan kemunculan penyihir dari dalam diri Sophie, kecurigaan Sophie kalau Agatha akan meninggalkannya demi Tedros, hingga misteri yang disembunyikan oleh Dekan Saders. Pada akhirnya, pelaku yang sebenarnya adalah orang-orang yang tak terduga.
"Karena kau adalah seorang putri, Agatha. Dan tak peduli seberapa kuat kau melawannya... Kau menginginkan seorang pangeran." Hester, hlm 147.
Baiklah. Aku akan membahas novel ini satu per satu. Pertama, dari sampulnya, aku suka. Aku suka saat penerbit lokal tidak mengganti sampul asing dari buku ini. Biasanya, sampul yang sudah diadaptasi menjadi "tidak semenarik" sampul aslinya. Selain itu, aku harus mengacungkan jempol pada Iacopo Bruno yang berhasil menyajikan ilustrasi-ilustrasi cantik di dalam buku.
Dari segi karakter, sebenarnya aku sedikit kecewa dengan perubahan sifat Agatha. Bila di buku satu ia terkesan misterius, cerdik, dan juga cuek, di buku kedua ini Agatha menjadi sosok yang sedikit plin-plan dan sering terbawa emosi. Apalagi, Agatha seperti terombang-ambing antara perasaannya dengan persahabatan yang dimilikanya dengan Sophie. Tapi, aku suka dengan perkembangan karakter Tedros dan Sophie. Masing-masing karakternya masih konsisten. Bahkan, semakin banyak kisah yang dapat digali dari mereka berdua.
Untuk ceritanya sendiri, aku sangat kagum dengan kemampuan Soman yang berusaha untuk menyembunyikan apa yang sebenarnya terjadi di Sekolah Kebaikan dan Kejahatan. Menurutku, isi ceritanya cukup rapi. Bahkan, akhirnya pun tidak terduga. Salah satu hal yang menarik perhatianku adalah konsep Sekolah Perempuan dan Laki-laki. Honestly, I detect some feminism thingy, in here. Bukan, bukan! Bukan berarti hal itu buruk lho, ya. Just my thought, tho.
Image source: google, edited by me. |
Tentunya, membaca buku kedua dari seri The School for Good and Evil membuatku ingin membaca buku ketiga dari seri ini. Apalagi, dengan akhir yang disajikan oleh Soman di buku kedua ini yang cukup menggantung, aku semakin ingin tahu dengan si buku ketiga. Semoga saja aku bisa mendapatkan buku ketiga dari seri ini secepatnya.
Untuk kamu yang menyukai kisah fantasi yang beda dari biasanya, Sekolah Kebaikan dan Kejahatan dapat mengantarmu ke kisah tersebut.
3.5 bintang untuk trio cewek penyihir yang cukup berjasa untuk Sophie dan Agatha.
Be First to Post Comment !
Post a Comment