Pulang by Leila S. Chudori | Book Review + Posting Bareng BBI

Disclaimer!
Resensi novel Pulang ini awalnya mau saya tujukan sebagai postingan resensi saja. Akan tetapi, saya memutuskan untuk menggabungnya dengan Posting Bareng BBI. Mengapa? Kemarin saya berniat membuat artikel 'sok-sokan' mengenai latar peristiwa kebanyakan novel fiksi sejarah Indonesia. Namun, apa daya, kepulangan saya dari Riau membuat saya malas tujuh turunan untuk membuatnya. Bahkan, untuk sekadar meriset pun saya tidak berminat. Jadilan, postingan ini yang akan saya setorkan sebagai bentuk keikutertaan saya dalam Posting Bareng BBI. Hehe.


Pulang
"Aku tak ingin berakhir seperti mereka, saling mencintai. Lantas kehilangan dan kini mereka hanya mengenang dan merenung dari jauh."

By Leila S. Chudori
4.5 of 5 stars

Image source: goodreads.com
Gambar sampul dan isi : Daniel "Timbul" Cahya Krisna
Tata letak sampul          : Wendie Artswenda
Tata letak isi                 : Wendie Artswenda dan Stefanus Gunawan
Penerbit                        : Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)
Tahun terbit                  : Februari 2016, cetakan ketujuh
Tebal buku                    : viii+461 halaman
ISBN                             : 9789799105158

Paris, Mei 1968. 



Ketika revolusi mahasiswa berkecamuk di Paris, Dimas Suryo seorang eksil politik Indonesia bertemu Vivienne Deveraux, seorang mahasiswa Prancis yang ikut demonstrasi melawan pemerintah Prancis. Pada saat yang sama, Dimas menerima kabar dari Jakarta: Hananto Prawiro, sahabatnya, ditangkap tentara dan dinyatakan tewas. Dimas merasa cemas dan gamang. Bersama puluhan wartawan dan seniman lain, dia tak bisa kembali ke Jakarta karena paspornya dicabut oleh pemerintah Indonesia. Sejak itu mereka mengelana tanpa status yang jelas dari Santiago ke Havana, ke Peking dan akhirnya mendarat di tanah Eropa untuk mendapatkan suaka dan menetap di sana.


Di tengah kesibukan mengelola Restoran Tanah Air di Paris bersama tiga kawannya: Nug, Tjai, dan Risjaf—mereka berempat disebut Empat Pilar Tanah Air—Dimas, terus-menerus dikejar rasa bersalah karena kawan-kawannya di Indonesia satu persatu tumbang, dikejar, ditembak, atau menghilang begitu saja dalam perburuan Peristiwa 30 September. Apalagi dia tak bisa melupakan Surti Anandari—isteri Hananto—yang bersama ketiga anaknya berbulan-bulan diinterogasi tentara.

***

Membaca novel ini, membuat saya memahami satu hal. Terma "pulang" tidak dapat dilakukan oleh setiap orang. "Pulang" sendiri menjadi satu hal yang akan sulit dilakukan bila keadaan tidak memungkinkannya. Adalah Dimas Suryo. Seorang eksil politik Indonesia yang menetap di Paris. Sebagai eksil politik, Dimas harus pintar-pintar untuk mencari tempat tinggal. Kenyataan bahwa ia tidak diterima oleh negerinya sendiri, membuat Dimas secara paksa tidak bisa merasakan "pulang".

"Rumah adalah tempat di mana aku merasa bisa pulang." Dimas Suryo.

Jujur saja. Ini adalah pertama kalinya saya membaca novel bergenre fiksi sejarah seperti "Pulang". Cerita tentang eksil politik seperti Dimas merupakan cerita yang baru bagi saya. Dan, saya harus mengakui, saya jatuh hati pada tulisan Leila S. Chudori. Secara garis besar, Leila S. Chudori membagi ceritanya menjadi tiga bab besar, yakni Dimas Suryo, Lintang Utara, dan Segara Alam. Masing-masing diceritakan dengan fokus terhadap tokoh tersebut. 

"Menurut Maman, apakah Ayah seorang Ekalaya?"
"Non."
"Kenapa tidak?"
"Dia seroang Bima, yang selalu ingin melindungi perempuan yang dicintainya."

Pada tahun 1965, terjadi pergolakan besar di negeri ini. Dimas, seorang wartawan yang bekerja di Kantor Berita Nusantara. Sebagaimana yang kita ketahui, pada tahun-tahun tersebut, orang-orang yang dianggap PKI akan ditangkap dan diadili. Bukan hanya yang terlibat langsung, tapi juga keluarga dan orang-orang terdekat anggota PKI pun ikut merasakan akibatnya. Sebenarnya, Dimas bukanlah orang yang memihak satu ideologi. Ia hanyalah orang yang berada di tengah-tengah. Tak mencoba untuk condong ke ideologi manapun. Sayangnya, kedekatan ia dengan beberapa orang berideologi sosialis, membuat ia menjadi target buruan. Bersama dengan Nug, Risjaf, dan Tjai, Dimas terdampar di Paris dan tidak bisa kembali ke tanah air,

Gerakan mahasiswa yang berkecamuk di Paris mempertemukan Dimas Suryo dengan Vivienne Deveraux. Tanpa prasangka, nyatanya Dimas dan Vivenne merasa cocok dan akhirnya menjadi sepasang suami-istri. Sebagai eksil politik, Dimas kesulitan mencari pekerjaan tetap. Suatu hari, Dimas dan ketiga temannya berhasil mendirikan Retsoran Tanah Air. Restoran yang menyediakan masakan Indonesia di Paris. Sejak saat itu, kehidupan Dimas menjadi lebih mudah. Ditambah pula dengan kelahiran putrinya, Lintang Utara. Sayangnya, Dimas selalu merasa kalau Paris bukanlah rumahnya. Ia masih tetap merindukan Indonesia dan juga sesosok orang di masa lalunya, Surti Anandari--istri dari Hananto Prawiro.

Cerita berlanjut pada bulan Mei 1998. Lintang Utara harus segera menyelesaikan tugas akhirnya. Dengan berbagai pertimbangan, akhirnya Lintang memutuskan untuk pergi ke Jakarta. Di negara yang begitu dirindukan ayahnya itu, Lintang mengungkap berbagai rahasia yang tersimpan rapat dalam diri korban '65. Bahkan, Lintang juga berhasil memahami makna Surti bagi ayahnya. Selain itu, perjalanan Lintang ke Jakarta juga menyadarkan dirinya akan satu hal. Perasaannya sedang berada di persimpangan. Antara memilih Narayana--kekasihnya yang tinggal di Paris, atau Segara Alam--putra bungsu dari Surti dan Hananto yang dikenal Lintang dalam waktu yang singkat.

"Jangan sekali-kali meminta maaf untuk mempertahankan prinsip!" Aji Suryo, hlm. 361.

"Pulang" adalah definisi novel sialan yang tidak bisa saya lewatkan begitu saja. Awalnya, saya memang bosan. Bosan dengan bahasa berbunga-bunga yang dituturkan oleh Leila. Bahkan, saya bingung karena banyak loncatan waktu yang dijabarkan. Leila seperti sengaja mengajak pembacanya mengelana antara masa sekarang, masa 1965, dan masa-masa lainnya. Bingung? Ya. Saya bingung saat membaca di bagian awal. Akan tetapi, saya merasa Leila punya semacam sihir atau daya tarik magis yang pada akhirnya membuat saya terpaku. Saya cukup terkejut karena saya dapat menikmati novel ini dengan khidmat. Berbagai emosi saya rasakan saat membaca novel ini. Bahkan, saya merasa bersedih dengan kenyataan bahwa Dimas tidak bisa kembali ke tanah airnya. Ia seolah ditolak oleh negaranya sendiri.

Image Source: google.com, edited by me
Mengambil latar belakang peristiwa 1965 dan reformasi 1998, membuat novel ini kaya akan berbagai taburan sejarah. Baik sejarah yang memang diktehaui secara gamblang, maupun berbagai pengetahuan yang harusnya kita pahami mengenai titik kelam sejarah di negeri ini. Meskipun demikian, saya lebih merasa bahwa porsi drama di dalam novel ini cukup besar. Bahkan, unsur romansa pun melekat cukup kuat. Saya masih teringat bagaimana Leila menggambarkan hubungan asmara Dimas-Vivienne, Lintang-Nara, ataupun Lintang-Alam. Porsi mereka mendapat tempat masing-masing dalam novel ini. Jujur saja, saya benar-benar terhibur dengan romansa yang dikemas apik ini.

"Aku gelisah bukan karena tidak merokok. Aku gelisah karena sejak tadi ingin menciummu." Segara Alam, hlm. 370.

Novel yang kaya akan ilustrasi ini, membuat saya sepenuhnya sadar bahwa sejarah yang ada di negeri ini tidaklah sesederhana yang saya bayangkan. Ada berbagai macam rahasia dan tipu daya yang ada. Tentu saja, saya merasa bahwa novel ini begitu megguncang emosi. Jujur saja, sepertinya saya tidak akan keberatan untuk membaca karya Leila lainnya. Akan tetapi, saya merasa ada satu hal yang kurang dari novel ini. Saya merasa novel ini jauh dari selesai. Bagian Segara Alam entah mengapa temponya begitu cepat. Leila seperti ingin segera menyudahi cerita ini. Saya cukup kecewa karena akhir dari novel ini cukup anti klimaks. Sungguh disayangkan karena permulaan dari novel ini begitu rapi dan apik.

"Mungkin itu hanya sekadar melankoli. Tapi aku tak berkeberatan bersandar pada sesuatu yang sudah berlalu, jika itu bisa membuatku kuat." Surti Anandari.

Meskipun demikian, saya akan merekomendasikan novel ini kepada siapapun yang mencintai sejarah. Kepada orang-orang yang gemar membela kaum marginal. Saya benar-benar merekomendasikan novel ini untuk kalian. Dari novel ini, Leila berhasil menyadarkan kita kalau negeri ini memiliki sisi gelap yang masih saja gelap hingga sekarang.

4.5 bintang untuk hubungan Lintang dengan Alam :)








Be First to Post Comment !
Post a Comment