Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin
“Orang yang memendam
perasaan seringkali terjebak oleh hatinya sendiri. Sibuk merangkai semua
kejadian di sekitarnya untuk membenarkan hatinya berharap. Sibuk menghubungkan
banyak hal agar hatinya senang menimbun mimpi. Sehingga suatu ketika dia tidak
tahu lagi mana simpul yang nyata dan mana simpul yang dusta.”
By Tere
Liye
4 of 5 stars
Penerbit :
Gramedia Pustaka Utama
Tebal halaman : 264 halaman
Tahun terbit : Cetakan keduapuluh dua, Januari 2016
ISBN :
978-979-22-5780-9
Many
values that I can get but I just could’n like the ending.
|
source: goodreads.com |
Dia bagai malaikat
bagi keluarga kami. Merengkuh aku, adikku, dan Ibu dari kehidupan jalanan yang
miskin dan nestapa. Memberikan makan, tempat berteduh, sekolah, dan janji masa
depan yang lebih baik.
Dia sungguh bagai
malaikat bagi keluarga kami. Memberikan kasih sayang, perhatian, dan teladan
tanpa mengharap budi sekali pun. Dan lihatlah, aku membalas itu semua dengan
membiarkan mekar perasaan ini.
Ibu benar, tak
layak aku mencintai malaikat keluarga kami. Tak pantas. Maafkan aku, Ibu.
Perasaan kagum, terpesona, atau entahlah itu muncul tak tertahankan bahkan
sejak rambutku masih dikepang dua.
Sekarang, ketika
aku tahu dia boleh jadi tidak pernah menganggapku lebih dari seorang adik yang
tidak tahu diri, biarlah... Biarlah aku luruh ke bumi seperti sehelai daun...
daun yang tidak pernah membenci angin meski harus terenggutkan dari tangkai
pohonnya.
REVIEW:
Perjalananku membaca novel Tere Liye ini begitu
menyenangkan. Banyak nilai moral yang kudapat. Jujur saja, aku suka dengan cara
Tere Liye mengeksekusi cerita ini. Meskipun pada akhirnya aku sangat tidak
setuju dengan endingnya.
First
impression:
Ini setting-nya
di Depok? Pertama kali membaca, bahkan sejak paragraf pertama, aku tahu dan
familiar dengan keadaan yang dipaparkan oleh Tere Liye. Jelas sekali kalau yang dimaksud
adalah Kota Depok.
“Kebaikan itu memang tak selalu harus berbentuk sesuatu yang terlihat.”
The
Appearance:
Penampakan dari novel ini sebenarnya sederhana. Dulu
aku tidak terlalu tertarik. Faktor panjangnya judul menjadi salah satu alasan.
Padahal, judul tersebut sangat berhubungan dengan inti cerita. Konsep sampulnya
menurutku bagus. Jadi, cukup menarik untuk dilihat.
The
Summary:
Inti cerita dari novel ini adalah seorang gadis yang
mencintai penolong hidupnya.
Namanya Tania. Seorang
gadis kecil yang terpaksa bekerja sebagai pengamen bersama adiknya. Ayahnya
telah meninggal. Sedangkan ibunya tidak bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari
mereka bertiga. Jadilah Tania dan adiknya, Dede,
mengamen untuk menyambung hidup.
Suatu ketika, saat Tania dan Dede mengamen di bus kota,
tak sengaja Tania menginjak paku payung. Kaki Tania berdarah cukup banyak.
Untungnya, ada seorang pemuda yang menolong Tania. Sejak saat itulah pemuda itu
akan berada dalam kehidupan Tania dan Dede sampai waktu terus bergulir.
Sang penolong itu tiba-tiba saja menjadi seorang
malaikat penyelamat. Berbagai macam hal dilakukan olehnya. Membantu
perekonomian Ibu Tania, menyekolahkan Tania dan Dede, dan banyak hal lainnya.
Sang malaikat agaknya merupakan seorang yang sangat pemurah. Ia membantu tanpa
adanya pamrih. Bahkan, Tania pun disekolahkan hingga mendapat beasiswa di
Singapura.
Akan tetapi, tidak selamanya kebahagiaan itu bertahan
selamanya. Tania menyadari perasaannya terhadap sang malaikat. Perasaan yang
sejujurnya tidak boleh ditujukan padanya—secara etis tidak boleh. Berbagai
macam hal pun terjadi di antara keduanya. Sampai akhirnya, tak akan pernah ada
yang tahu bagaimana keadaan hati mereka yang sebenarnya.
Sang malaikat itu bernama Danar. Dia adalah seorang
laki-laki yang memiliki umur lebih tua dari pada Tania. Setidaknya, selisih
umur Tania dan dia adalah 14 tahun.
Dalam novel ini juga muncul beberapa tokoh lain yang cukup
penting. Ratna,
kekasih
dia. Anne, sahabat Tania di Singapura. Adi, teman laki-laki Tania. Miranti,
penerus usaha kue milik ibu Tania.
Proporsi yang disajikan oleh masing-masing orang ini
sudah pas.
The
Point of view, plot, and setting:
Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin ini menggunakan
sudut pandang orang pertama. Sudut pandang dari sisi Tania. Cukup mengesankan
membaca pandangan-pandangan Tania tentang kehidupan. Tidak terlalu membuat
bingung dan bahkan sedikit terbawa dengan jalan cerita.
Permasalahan yang muncul kemudian adalah tentang
loncatan alur. Dalam satu bab di novel ini terbagi menjadi dua. Sudut pandang
dari masa sekarang dan juga sudut pandang dari masa lalu. Sebenarnya
penempatannya sudah cukup bagus. Akan tetapi, terkadang ada beberapa bagian
yang kurang nyambung.
Setting
yang
digunakan sudah jelas di Kota Depok. Meskipun ada juga beberapa bagian yang
mengambil setting Singapura. Entah
bagaimana ceritanya, aku sangat mengenal setting
yang digunakan. Maksudku, sebelum benar-benar disebutkan dimana settingnya, dari beberapa kondisi yang
disebutkan, aku tahu kalau setting yang
digunakan benar-benar di Kota Depok. Apalagi, toko buku yang selalu disebutkan
memang sangat jelas. Tentunya, aku sangat mengenal setting toko buku itu karena aku pun sering mengunjunginya.
The
Opinion
Aku senang dengan ceritanya. Tidak sekadar menceritakan
tentang percintaan. Novel ini juga mengajarkan bahwa, setiap orang memiliki
kesempatan untuk bermimpi. Sesulit apa pun keadaanmu, yakinkan dirimu kalau
kamu bisa mengubah nasibmu.
Menurutku, novel ini sangat bisa dinikmati untuk
menggalau ria
Last
Impression
Akhirnya…gantung. Iya. Gantung. Aku jadi
bertanya-tanya, what the heck! Ini benar-benar
definisi cerita dengan cliffhanger sejati.
“Daun yang jatuh tak pernak membenci angin. Dia membiarkan dirinya jatuh begitu saja. Tak melawan. Mengikhlaskan semuanya.”
The
Conclusion
Be First to Post Comment !
Post a Comment