Critical Eleven
Aku rindu kami yang dulu. Aku rindu merasa bahagia. Aku
rindu aku yang dulu.—Anya.
By Ika
Natassa
4.5 of 5
stars
Penerbit :
Gramedia Pustaka Utama
Tebal halaman : 344 halaman
Tahun terbit : 2015
ISBN :
9786020318929
Takdirlah
yang menentukan bagaimana yang akan terjadi pada kehidupan kita.
|
Dalam dunia
penerbangan, dikenal istilah critical
eleven, sebelas menit paling kritis di dalam pesawat—tiga menit setelah take off dan delapan menit sebelum landing—karena secara statistik delapan
puluh persen kecelakaan pesawat umumnya terjadi dalam rentang waktu sebelas
menit itu. It's when the aircraft is most
vulnerable to any danger.
In a way, it's kinda the same with meeting people. Tiga menit pertama kritis sifatnya karena
saat itulah kesan pertama terbentuk, lalu ada delapan menit sebelum berpisah—delapan
menit ketika senyum, tindak tanduk, dan ekspresi wajah orang tersebut jelas
bercerita apakah itu akan jadi awal sesuatu ataukah justru menjadi perpisahan.
Ale dan Anya pertama kali bertemu dalam
penerbangan Jakarta-Sydney. Tiga menit pertama Anya terpikat, tujuh jam
berikutnya mereka duduk bersebelahan dan saling mengenal lewat percakapan serta
tawa, dan delapan menit sebelum berpisah Ale yakin dia menginginkan Anya.
Kini, lima tahun setelah perkenalan itu, Ale dan
Anya dihadapkan pada satu tragedi besar yang membuat mereka mempertanyakan
pilihan-pilihan yang mereka ambil, termasuk keputusan pada sebelas menit paling
penting dalam pertemuan pertama mereka.
Diceritakan bergantian dari sudut pandang Ale dan
Anya, setiap babnya merupakan kepingan puzzle yang membuat kita jatuh cinta
atau benci kepada karakter-karakternya, atau justru keduanya.
REVIEW:
Membaca Critical
Eleven ini membuat jantungku kebat-kebit. Dalam artian aku tidak menyangka
kalau ceritanya akan sekompleks ini. Perjalanan cinta Ale dan Anya yang sungguh
tak biasa berhasil membuatku tertegun dan jujur saja, this is the definition of sweet & hurt novel.
Berani menjalin hubungan berarti berani menyerahkan sebagian kendali atas perasaan kita kepada orang lain.—hlm. 7.
First
impression:
Awal aku mengenal Critical
Eleven tentunya dari berbagai review yang
banyak sliweran di goodreads. Selain itu, aku juga mengikutin akun Ika Natassa.
Jadilah aku tahu kenapa novel ini begitu booming.
Tentunya, aku mempunyai ekspektasi yang sangat besar akan novel ini.
Setiap aku pergi ke toko buku, novel ini seakan-akan
terus memanggilku. Sayangnya, baru sekarang aku bisa menyambar dan membacanya.
Waktu adalah satu-satunya hal di dunia ini yang terukur dengan skala sama bagi semua orang, tapi memiliki nilai berbeda bagi setiap orang.—hlm.17.
The
Appearance:
Dari segi penampilan, novel ini cukup menarik. Judul
yang membuat semua orang penasaran dan desain yang cukup simple. Warna biru kavernya bagus. Aku suka banget. Tebal novelnya
masih dalam batas wajar. Tentunya, dengan ekspektasi yang cukup besar, aku
tidak keberatan dengan tebal novel ini. Menurutku sudah pas.
When memory plays its role as a master, it limits our choices. It closes doors for us.—hlm. 23.
The
Summary:
Cerita dalam novel ini bermula dari pertemuan Ale dan Anya dalam penerbangan Jakarta-Sydney. Baik Ale dan Anya tertarik
satu sama lain. Singkat kata, perkenalan di dalam pesawat itu telah mengubah
jalur hati masing-masing. Mempersatukan mereka dalam suatu ikatan pernikahan
utuh.
Sayangnya, apa yang dikatakan di berbagai macam novel
atau pun film menjadi kenyataan. Tidak selamanya kebahagiaan itu bisa bertahan.
Begitu pula dengan kehidupan rumah tangga Ale dan Anya. Kehidupan mereka yang
awalnya begitu bahagia, tiba-tiba berubah seratus delapan puluh derajat. Tidak
ada lagi senyum maupun tawa di antara keduanya. Kehilangan anak mereka bahkan
sebelum anak tersebut lahir telah membuat kehidupan rumah tangga Ale dan Anya
terguncang hebat.
Selain kehadiran Ale dan Anya, ada juga beberapa tokoh
yang cukup sering muncul. Orang tua Ale, adik-adik Ale, sahabat Anya dan
beberapa tokoh sampingan lainnya.
“Hidup ini jangan dibiasakan menikmati yang instan-instan, Le, jangan mau gampangnya aja. Hal-hal terbaik dalam hidup justru seringnya harus melalui usaha yang lama dan menguji kesabaran dulu.”—hlm. 31.
The
Point of view, plot, and setting.
Novel ini menurutku cukup unik. Sudut pandang yang
digunakan merupakan sudut pandang orang pertama. Diceritakan bergantian dari
sudut pandang Ale dan Anya. Sayangnya, pada bagian awal tidak tertulis sudut
pandang siapa yang digunakan—pada bab 1. Jadi, agak sedikit sulit untuk
menafsirkan siapa yang bicara. Apalagi, bagi yang baru pertama kali membaca.
Plot yang digunakan adalah plot campuran. Berkali-kali
alur yang digunakan dalam novel ini terlihat sangat mash up. Dalam satu sudut pandang bisa terdiri dari dua alur, yang
sejujurnya, kalau pembaca tidak berhati-hati akan terasa beberapa keganjilan.
Loncatan alurnya cukup terasa. Mungkin ini yang menjadi salah satu kekurangan
dari novel ini.
Hidup memang tidak pernah sedrama di film, tapi hidup juga tidak pernah segampang di film.—hlm. 40.
Kata orang, saat kita berbohong satu kali, sebenarnya kita berbohong dua kali. Bohong yang kita ceritakan ke orang, dan bohong yang kita ceritakan ke diri kita sediri.—hlm. 57.
Latar yang digunakan adalah Jakarta di zaman modern.
Haha. Sumpah ya aku nggak kreatif banget mendeskripsikan latarnya -_-“
The
Opinion
Menurut pendapatku, cerita yang disajikan cukup tidak
biasa. Bahkan, cukup menarik. Aku suka dengan gaya bercerita Ika Natassa.
Ringan dan renyah. Tidak membuatku mengerutkan dahi terlalu dalam.
Penggunaan premis critical
eleven merupakan ide yang patut diapresiasi. Kok bisa ya kepikiran?
Pokoknya, novel ini menarik.
Last
Impression
Love does not consist of gazing at each other, but in looking outward together in the same direction.—hlm. 330.
The
Conclusion
Kesimpulannya, novel ini recommended buat yang lagi pengen cari novel roman yang membahas
pernikahan :”
Be First to Post Comment !
Post a Comment